Bung Tomo yang heroik dan romantis
Bersama Aisyah Asy'ari Baidlowi (Adik Gus Dur), Sulistina (Istri Bung Tomo), Tuti, Stafanus Moestopo |
Persembahan untuk Hari Pahlawan
Bung Tomo yang heroik nan romantis
Kutipan:
Sulistina (87)
‘Ah kamu kok sombong temen nang aku, enggak delok aku belas, padahal liane delok aku,” kenang Sulistina menirukan perkataan Bung Tomo yang naksir berat dengannya.
---Kalimat bergaya Suroboyoan dari mulut Sutomo itu begitu dikenang Sulistina. Dengan nama itu, Mas Tomo hanyalah laki-laki bagi perempuan 87 tahun itu. Seluruh hatinya untuk Sulistina. Tapi, jika Sutomo dipanggil Bung Tomo, barulah hatinya untuk Indonesia.
Hany Akasah
Meski jalannnya tertatih-tatih, Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo masih terlihat bersemangat. Suaranya terdengar mantap di usianya yang pada tanggal 25 Oktober lalu genap berusia 87 tahun.
Menggunakan baju biru cerah, Lies-sapaan Sulistina digandeng dua rekannya dari keluarga Pahlawan Nasional, Aisyah Hamid Baidlowi (Cucu Hasyim As’ari yang juga adik Gusdur) dan Roswidiati Tendean (Adik Piere Tendean). Lies melangkahkan kakinya masuk ke rumah sahabat seperjuanganya Soekarti Suryo di Jl Johar gang VIII, jum’at siang (9/11). Wajahya langsung merona dan manja ketika aku bertanya tentang nostalgia bersama suami tercintanya. “Ah dia (Bung Tomo,red) itu romantis, mesti ada aja surprice darinya,” buka Lies berkaca-kaca sembari menggenggam tanganku
Menurut ia, pekik semangat orasi perjuangan Bung Tomo buat merinding bulu kuduk. Dalam pidato itu, digambarkan bagaimana tentara sekutu yang datang hendak menjajah kembali Bangsa Indonesia. Gema suara yang didengungkan Bung Tomo sontak membuat arek-arek Surabaya terbakar untuk melakukan perlawanan terhadap tentara Inggris.
Bisa dikata, Bung Tomo sukses menaklukkan hati rakyat Surabaya dan Indonesia. Tapi, bukan orasi Bung Tomo belum tentu menarik perempuan yang satu ini. Namun, dengan bahasa sederhana dan sesekali puitislah yang membuat Bung Tomo berhasil mempersunting Sulistina pada tahun 1947. Tak berhenti disitu, Bung Tomo terus menaklukkan hati Sulistina hingga akhir hayatnya.
Perempuan asli Malang itu pun menceritakan awal pertemuannya dengan suami pada tahun 1945. “Saat bekerja di Palang Merah Indonesia (PMI). Saya dan tim PMI Malang dikirim khusus ke Surabaya untuk merawat para pejuang yang gugur dan terluka dalam peristiwa bersejarah 10 November. Di Surabaya Inilah saya kenal Bung Tomo,” ceritanya.
Lies cukup salah tingkah dengan gerak-gerik pria kelahiran Kampung Blauran, Surabaya yang saat itu sudah menjadi idola rakyat. Bung Tomo selalu cari perhatian ketika Lies bekerja merawat para pejuang yang terluka di tenda-tenda pertolongan.
‘Ah kamu kok sombong temen nang aku, enggak noleh aku blas, padahal liane delok aku, (Ah kamu kok sombon banget sama aku, tidak lihat sama sekali, padahal lainnya melihat aku)” kenang Sulistina menirukan perkataan Bung Tomo yang naksir berat dengannya. Semboyan ‘tresno jalaran soko kulino’ pun sukses dilakukan Bung Tomo yang menikahinya di Malang pada tahun 1947.
Perjuangan Bung Tomo menaklukkan istrinya tak berhenti ketika itu saja. Bung Tomo terus merajut romantismenya dalam setiap surat-surat yang dikirim ketika bertugas keluar kota. Saking ingatknya dengan surat Bung Tomo, Lies pun menulis lagi buku ‘Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen Pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan’ pada tahun 2006 lalu.
Lies melanjutkan ceritanya, selain menanyakan kabar buah hatinya, Bung Tomo juga sering berpesan supaya terus merindukannya. ’’Bila kesepian, ambilah buku pelajaran bahasa Inggris kita, en…success, tulis Sulistina menirukan isi surat Bung Tomo diatas kertas yang aku sodorkan.
Panggilan “Tiengke” atau sayang juga diberikan kepada Lies. Kata itu, lanjut Lies, selalu menghiasi kop surat yang dikirim Bung Tomo kepadanya. Dalam beberapa surat panggilan sayang itu dikombinasi dengan kata-kata mesra lainya. Misalnya “Tieng adikku sayang”, “Tieng isteri pujaanku”, “Dik Tinaku sing ayu dewe”, “Tieng Bojoku sing denok debleng” atau “Tiengke Sayang”.
Bung Tomo sibuk dengan tugasnya. Tak heran, ketika pulang Bung Tomo selalu memanjakan istrinya itu.“ “Ketika berdua dan anak-anak nggak ada, Bapak sering narik tangan saya lalu berdansa,’ kata Lies dengan wajah memerah. Cinta yang ditanam Bung Tomo selama bertahun-tahun sungguh merasuk ke relung jiwa Lies. Cinta mereka tak terhalang ruang dan waktu. Ketika meninggal pada tahun 1981 di Mekah, berkali-kali Lies bermimpi dipeluk Bung Tomo yang menggunakan baju biru. “Disamping kanan dan kirinya ada dua penjaga, kayak bidadari gitu. Tapi ia menolak, dia memilih memeluk saya dengan hangat. Berarti sampai saat ini dia tetap setia menunggu saya sebagai bidadari satu-satunya,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Setelah Bung Tomo meninggal dunia pun, Lies tetap rajin menulis surat. Kejadian apa pun selalu diceritakan dalam surat yang tak pernah terkirim itu.
Salah satu surat yang termuat dalam buku keempatnya Lies menulis:
20 Desember 2004. “Untuk Suamiku”. ’’Kemarin tanggal 18 (Desember 2004-red) saya telah menghadiri peluncuran buku Tarbawi dengan anak kita Bambang Sulistomo. Saya telah tertarik dengan surat undangannya, karena di situ tercantum nama Mas Tom. Meskipun saya masih sakit, karena tangan saya yang kiri masih dalam gendongan, saya perlukan datang. Saya waktu itu sedang pulang dari sholat Idul Adha, jatuh di tengah jalan dan tangan saya yang kiri patah,’’ Begitulah cuplikan suratnya.
Menurut Lies, ada ajaran Bung Tomo yang sering didengungkan kepada keluarga dan masyarakat waktu itu yakni jujur dan berjuang. “Jika kita jujur, sehingga tidak merugikan orang lain, sehingga bisa memakmurkan orang lain,” ungkapnya.
Sebagai istri yang tahu betul bagaimana perjuangan suaminya, Lies begitu mengingat bahwa suaminya hanya ingin rakyat Indonesia makmur dan sejahtera. Ide membangun Taman Perdamaian Dunia di Jawa Timur pun muncul dari benak Lies untuk merealisasikan apa yang diinginkan suaminya. Lies bermimpi, dalam Taman Perdamaian dunia itu akan ada berbagai budaya asing yang terlihat. Misalnya saja, Jepang, Thailand, Australia, Prancis, Amerika dan lain-lainya. Sehingga, masyarakat tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk melihat budaya asing. Selain pengetahuan terhadap budaya luar negeri, Taman Perdamaian Dunia ini bisa membuka lepangan pekerjaan dan kecintaan terhadap budaya Indonesia.
“Kalau taman mini yang ditampilkan cuma Indonesia. Tapi kalau Taman perdamaian dunia ini, seluruh budaya dunia ada disini, jadi rakyat bisa belajar dengan melihat teknologi dan budaya negara lainnya,” pungkasnya.
Beruntung sekali mbak bias bertemu beliau. Ceritanya bikin terharu.
BalasHapusSebagai rakyat biasa, gimana ya caranya kalau saya ingin sowan berkunjung pada beliau? Mohon infonya ya mbak. Please please :) makasih...