Prof Kisyani Laksono Tentang Bahasa Jawa
Masyarakat Jawa patut bangga karena dari 6809 bahasa dunia, pada tahun 2013 ini bahasa Jawa masuk 15 besar dalam penutur bahasa terbanyak di dunia, yakni urutan ke-11 setelah bahasa Jerman.Namun, jangan terlalu bangga karena pada tahun 2008 lalu, bahasa Jawa merupakan peringkat ke-8. “Peringkat kita turun, apalagi bahasa Indonesia yang peringkat ke-56,” kata Prof Kisyani Laksono, Pembantu Rektor (PR) I Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Baginya menurunya penutur bahasa Jawa karena pergeseran mindset masyarakat terhadap bahasa Jawa itu sendiri. Masyarakat lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Yang lebih riskan lagi, lanjut perempuan yang disapa Prof Kis ini, kurikulum pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah juga dimarjinalkan. Katakanlah, bahasa Jawa kini tidak lagi menjadi pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri atau swasta.
Namun, dijadikan pelajaran pelengkap di sekolah-sekolah swasta. Sehingga, rasa kebanggan terhadap bahasa Jawa atau daerah berkurang. Bahkan, di berbagai perguruan tinggi yang mengajarkan bahasa Jawa jumlahnya kian menurun, sampai tiga atau lima pelajar saja. “Saya sempat ikut kongres bahasa Jawa, ketika ditanya oleh profesor bahasa dari Australia tentang masalah tersebut, yang disalahkan ya semua audiens ini, ada dosen, guru bahasa. budayawan dan lainnya,” paparnya.
Mengapa demikian? lanjut Prof Kis, penyebab yang paling nyata yakni guru, orang tua dan anak-anak kurang menggunakan bahasa Jawa terhadap lawan bicara. Hal ini dilakukan baik kepada sesama masyarakat Jawa atau kepada warga asing atau wisatawan. Akibatnya, para wisatawan mancanegara enggan belajar bahasa daerah atau bahasa Indonesia. “Mikirnya buat apa belajar bahasa Jawa atau Indonesia, mereka (masyarakat, red) ditanya pakai bahasa Inggris sudah mengerti,” kata ahli linguistik itu.
Lantaran pengguna asli dan pendatang pun enggan menggunakan bahasa daerah, maka penutur bahasa akan hilang. “Kalau cuma penuturnya tinggal satu, bisa dikata bahasa itu ya sudah mati, tidak ada lawan bicaranya, terus mau ngomong sama siapa?” ujarnya. Hal ini tentu berbeda dengan bahasa Mandarin yang dari tahun ke tahun menjadi peringkat pertama.
Selain karena masyarakat China sudah tersebar di seluruh dunia, mereka memiliki kebanggaan dan enggan menggunakan bahasa asing dengan pendatanga baru. Alhasil, pendatang baru akan tertantang menggunakan bahasa Mandarin. “Baik orang Indonesia, orang Eropa dan Amerika pasti tertantang bahasa Mandarin, sedangkan orang asing yang ingin belajar Jawa atau Indonesia menurun, ini PR buat kita,” katanya
0 komentar: