Sosiolinguistik dan kinesik

07.38 0 Comments

Catatan Akasah—
17 Desember 2012

Hubungan Gelap Kinesik dan Sosiolinguistik

Pertanyaan apakah ada hubungan antara kinesik dan sosiolinguistik mulai hadir dan terbesit dalam benakku ketika sahabatku Dewi Puspa Arum melontarkan ungkapan itu di ruang berukuran 6 x 8 meter ini.
Mungkin itulah kekritisan yang seharusnya kita pikirkan. Dengan kata lain kita sebagai manusia harus berusaha berpikir dan mencari. Saat ini, tepat yang aku rasakan dan pikirkan masih sama dengan deadlineku yang tak pernah kunjung usai. Aku kembali memikirkan tentang bahasa. Jika aku berpikir parsial, aku tidak akan pernah bertanya mengapa ada seperti itu. Ah, teringat apa yang diungkapkan dosen satra yang selalu didamba-dambakan manusia kelas ini, Suyatno, bahwa kita adalah filsuf, seorang yang selalu bertanya dan berfikir.
Aku merasa beruntung dengan adanya para filsuf yang sudah mati lebih dulu. Setidaknya, diriku sedikit terbantu untuk sekedar memecah kebingungan. Aku sedikit berdefinisi bebas. Aku punya definisi sendiri tentang apa bahasa itu. Bahasa adalah wujud verbal dari pikiran kita, hampir sama dengan pernyataan-pernyataan para filsuf, bahkan sosok filsuf yang tidak percaya dengan tuhan yakni Nietzsche juga sempat mempengarhi diriku. Lagi-lagi aku mengeluh pada tuhan, mengapa kau tak turunkan aku pada zaman dahulu kala tepat ditengah para filsuf besar. Ah, kenapa aku hidup ditengah era kontemporer yang semuanya serba simbol dan hedon ini hai tuhan.
Kembali lagi kucoba, bicara apa itu bahasa? Aku tidak bisa mengelak dari definisi bahwa bahasa itu adalah alat komunikasi yang dipakai oleh masyarakat, tanpa bahasa tidak akan ada komunikasi satu sama lain diantara penutur.
Sebaliknya tidak ada bahasa maka tidak akan ada komunikasi. Bahasa dan masyarakat sudah pasti adalah produk yang menjadi partner selamannya. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan. Kalau mereka hidup berdampingan. Seperti uang koin yang mempunyai dua gambar berbeda. Sosiolinguistik adalah salah satu ilmu interdisipliner yang mempelajari tentang gejala-gejala bahasa yang terjadi didalam masyarakat.
Akhir-akhir ini yang membuat aku tertarik lagi adalah ekspresi-ekspresi tubuh dari seorang penutur ketika berbahasa. Seperti ketika aku liputan Dewi Persik (DP) di Lapangan Maritim Perak, minggu pagi (16/12). Disana aku melihat Dewi Persik bergoyang penuh seksi nan erotis. Hanya satu jam saja, DP sudah mampu merogoh kocek Rp 100 juta saja. Angka yang tidak terlalu fantastik. Pasalnya, DP harus mengerat seluruh tenaganya. Nafasnya terengah-engah, keringatnya mengalir deras, rambut panjangnya terurai tak karuan. Kian menarik, ketika aku melihat goyang gergaji DP diatas panggung megah berukuran 10 x 8 meter itu. Ia menunjukkan kemolekan dadanya yang membesar. Mataku tertengok ke pojok panggung, disana ada ribuan tangan-tangan penonton yang mengacungkan tangan. Sekilas, kufikir acungan tangan penonton adalah bukti kesenangan penonton menikmati hiburan goyangan DP.
Kita lihat contoh lain, contoh orang Sunda ketika diminta menunjukan sesuatu tempat maka dengan sopannya ia akan berbicara sambil memakai ibu jari untuk menunjuknya. Adalagi yang terkenal adalah orang Italia, orang-orang Italia kalau sedang berbicara pasti mereka juga memakai ekspressi tangannya untuk menegaskan.
Jika kita menonton film Eat Pray Love, kita pasti akan tahu bagaimana ketika Julia Robert sedang berada di Italia terkejut dengan prilaku berbahasa mereka.
Menurut Kartomihardjo (1988:73), keras lembut, tinggi rendah dan warna suara sebagai piranti tergolong isyarat yang disebut ragam yang memilik makna sosial dan emosional dalam suatu interaksi. Sementara isyarat lainnya yang menggunakan berbagai gerakan bagian tubuh digolongkan pada kinesik.
Kinesik adalah ilmu yang mempelajari isyarat yang menggunakan berbagai bagian tubuh (Kartomihardjo, 1988:3) yang termasuk kinesik yakni ekspresi wajah, sikap tubuh, gerakan jari jemari, tangan, lengan, pundak, goyangan pinggul, dan gelengan kepala.
Sudah barang tentu kita berpikir bahwasanya bahasa juga bisa ditegaskan dengan menggunakan bagian tubuh kita, tidak terlepas dari itu ada faktor-faktor yang mempengaruhi hal itu terjadi, dalam ilmu sosiolinguistik ada yang namanya faktor situasional dan ada juga faktor sosial. Keduanya sangat mempengaruhi pola berbahasa masyarakat yang ada dalam kebudayaan tertentu.
Yang termasuk kinesis menurut Kartomihardjo diatas kemungkinan bersifat konvensional, dengan kata lain orang-orang yang melakukan kineksi itu telah menyutujuinya dan melakukannya berulang-ulang sehingga menjadi kebudayaan tersendiri. seperti contoh ketika orang Sunda berbicara ‘punten’ terhadap orang yang lagi nongkrong maka mereka memakai tangan mereka sebagai media bahwa mereka telah sopan karena melalui orang yang sedang duduk. aku sendiri juga sering begitu dan tidak mempertanyakan kenapa?.
Baru terjawab, setelah mengalami kontemplasi bersama wanita ahli bahasa, Mintowati di K4.05. Dalam ruangan dengan hiasan gorden kuning dan tempat sampah biru ini, dia berucap, sebenarnya kinesik lebih dekat dengan ilmu komunikasi. Namun, ada korelasi antara bahasa tubuh dan masyarakat, maka sangat pantas jika kinesik menjadi pembahasan dalam ilmu sosiolinguistik.
Ibu tiga anak itu mengatakan, beberapa contoh kinesik yang bisa kita lihat, yakni menangis, tertawa, tersenyum dan lain-lainnya. “Tidak pernah orang tua mengajarkan anaknya untuk nangis ketika sedih, itu muncul secara sendiri,” katanya.
Darwin (1965) dan Ekman dkk (1969) membuktikan bahwa manusia dilahirkan dengan membawa serta unsur-unsur komunikasi nonverbal. Kita dapat mengekspresikan kegembiraan, kemarahan, dan berbagai perasaan dasar tanpa harus mempelajarinya Mungkin kita tidak pernah tahu mengapa semua begitu adanya, kita hanya menerima kebenaran yang telah disepakati, kalaupun secara mutlak maka semua bagian tubuh atau gejala kinesik ini akan sama meskipun di negeri lain juga. Contoh jelasnya adalah kinesik yang sangat tidak asing bagi kita adalah, bagi segolongan masyarakat di Indonesia misalnya mengatakan ‘ya atau tidak’, akan dibarengi dengan gelengan kepala sebagai penolakan dan anggukan kepala sebagai setuju. namun berbeda dengan di suku Afrika Barat dan India yang mempunyai sajian berbeda dan berbalik dari yang ada di Indonesia.dengan demikian apakah faktor yang menyebabkan itu terjadi. Apakah kita hanya bisa menjawab itu faktor budaya aja atau apa saja.
Tugas kita adalah mencari kebenaran yang sebenar-benarnya, untuk saat ini mungkin aku setuju dengan jawaban pikiranku sendiri bahwa perbedaan itu tidak lain dari kebudayaan, letak geografis, letak regional, suhu udara, dan berbeda kelas juga mungkin sangat berpengaruh terhadap perbedaan itu. Hal ini sangat menarik untuk dipelajari karena kita sebagai produk dan pelaku dari kebudayaan harus mampu mengungkapnya.

0 komentar: