22.48 0 Comments

Sepenggal Catatan Cagar Budaya Surabaya

Monumen untuk Pahlawan Tak Dikenal (1)


Tentara Inggris mendarat di Surabaya melalui Tanjung Perak pada 25 Oktober 1945. Kedatangan mereka itulah yang memantik pertempuran 10 November. Bagaimana mengapresiasinya?
PASTI banyak yang belum mengetahui bahwa di sisi utara Tugu Pahlawan ada sebuah monumen menarik. Bentuknya tiga patung dengan besar dan tinggi orang dewasa. Patung itu diwarnai cokelat. Tiga benda tersebut menggambarkan semangat perjuangan. Tampilannya gagah; membawa bambu runcing, senjata, dan bendera.
Sepintas memang tidak ada yang istimewa dari monumen itu. Tetapi, ternyata monumen tersebut sungguh sarat makna dan semangat perjuangan. Ini bisa dilihat dari sebuah tulisan di bawahnya yang berbunyi: Makam Pahlawan Tak Dikenal. Ada juga sebuah tulisan menyentuh lain: Di sini kau tidur dalam keabadian tanpa batas, sebagai pahlawan tak dikenal. Karena gugur saat berjuang tanpa pamrih. Membela bangsa dan negara, menjadi satu dalam pusara tanpa nama.
Meski disebut makam pahlawan, di area itu tidak ada batu nisan seperti taman makam pahlawan pada umumnya. ”Monumen tersebut untuk mengapresiasi para pejuang yang tidak dikenal saat melawan tentara Inggris,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemkot Surabaya Wiwiek Widayati.
Seperti sudah banyak ditulis dalam catatan sejarah kota ini, tentara Inggris menginjakkan kaki di bumi Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tujuan mereka datang sebetulnya menegakkan ketertiban dan keamanan, membebaskan semua tawanan perang Sekutu, mengevakuasi interniran, serta melucuti dan memulangkan tentara Jepang. Pasukan itu dikomando Brigadir Jenderal (Brigjen) Mallaby.
Menurut Wiwiek, sejatinya makam para pejuang yang gu­gur dalam peperangan 10 November tersebar. Ada yang di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Bangsa maupun TMP Ngagel. Namun, jumlah pejuang yang gugur saat itu terlalu banyak dan tidak semua jenazahnya dikenali. ”Karena itu, agar jasa para pejuang yang tidak dikenal itu hilang ditelan zaman, kami membuatkan monumen tersebut,” ujarnya.
Pengunjung ke kawasan Tugu Pahlawan itu sejauh ini lumayan banyak. Antara 6 ribu sampai 10 ribu per bulan. Sebagian besar adalah para pelajar. Namun, sebagian pengunjung tersebut datang karena gencarnya upaya sosialiasi pengelola Museum 10 November. Misalnya, datang ke sekolah-sekolah. ”Kita ceritakan sejarahnya bagaimana,” kata Sutopo, kepala UPTD Tugu Pahlawan dan Museum 10 November.
Selain itu, rutin diadakan acara seni dan hiburan. Setidaknya tiga kali dalam setahun, panggung itu digelar. Misalnya, saat ulang tahun Kota Surabaya, Hari Kemerdekaan RI, dan Peringatan Hari Pahlawan. ”Kita sasar anak muda biar tidak hanya suka datang ke mal atau plaza saja. Tentu, kami sangat mengharapkan kunjungan mereka itu bukan sekadar melihat. Tapi, bagaimana memaknai semangat kepahlawanan dalam kehidupan saat sekarang ini,” terangnya. (dim/puj/c1/hud)


Taman Jayengrono, Taman Pelengkap Berseri Sejarah


SURABAYA agaknya ingin meneguhkan diri sebagai Kota Pahlawan. Di antaranya, melalui pembangunan taman-taman berseri sejarah. Pembangunan itu makin masif sejak Tri Rismaharini menjabat sebagai kepala dinas kebersihan dan pertamanan (DKP). Terbaru, pemkot tengah merampungkan Taman Jayengrono yang disebut juga sebagai Memorial Parak. Taman itu berlokasi di depan Jembatan Merah Plaza (JMP).
Menurut Aminudddin, Kabid Pertamanan dan Penerangan Jalan Umum DKP, Taman Jayengrono bakal menjadi klimaks refleksi pertempuran 10 November. Sebab, taman tersebut melengkapi taman-taman yang berkaitan dengan perjuangan arek-arek Suroboyo, seperti Tugu Pahlawan dan Bambu Runcing. ”Taman tersebut memiliki hubungan langsung dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan,” ujarnya.
Seperti penah diberitakan, berdasar desain dari bappeko, taman itu bakal memiliki diorama yang tidak kalah komplet dengan kawasan Tugu Pahlawan. Di area tersebut, juga akan dibuat replika mobil yang dikendarai Brigjen Mallaby. ”Miniatur mobil Mallaby itulah yang membuat Jayengrono istimewa,” imbuh Aminuddin.
Taman Jayengrono bisa jadi taman terakhir yang berhubungan dengan seri perjuangan 10 November. Sebab, menurut dia, hingga kini pemkot belum berencana membangun taman bertema perjuangan lagi. ”Tahun depan mungkin belum ada taman perjuangan lagi. Saat ini, kami harus fokus pada Taman Jayengrono dulu,” tuturnya.
Taman Jayengrono memang pantas menjadi fokus pemkot. Sebab, selain membawa misi menginspirasi semangat nilai-nilai kepahlawanan, tempat tersebut digadang-gadang bisa membangkitkan lagi suasana malam di kawasan utara. Selain memiliki historis dan artistik yang tinggi, akan ada aneka bunga dan permainan lampu yang atraktif. Apalagi, pemkot bakal menyediakan stage kecil untuk aneka pertunjukan.
Pengerjaan Taman Jayengrono yang dimulai sejak akhir 2009 lalu, kini sedang memasuki tahap kedua. Direncanakan, proyek tersebut rampung pada tahap ketiga baru 2011 mendatang. Dengan demikian, agaknya memorial park itu belum bisa menjadi kadi peringatan Hari Pahlawan Tahun ini. (dim/puj/c6/hud)


Gedung Resolusi Jihad Tak Masuk Bangunan Heritage (2)


Pertempuran 10 November 1945 tentu meletus tidak secara tiba-tiba. Di antara pengobar semangat untuk turun ke palagan itu salah satunya disebut-sebut keluarnya Resolusi Jihad.

BANGUNAN rumah di Jalan Bubutan Gang VI Nomor 2 itu bernuansa lawas. Pintunya besar, atapnya tinggi. Kayu dan besinya juga masih asli. Memang ada yang terlihat baru, tetapi cuma cat tembok dan sebagian keramik lantai. Dalam rumah itu, terdapat sebuah ruang yang lumayan luas. Ukurannya sekitar 5 x 11 meter. Di sisi ruang itu ada bendera Murah Putih.
Tidak terlalu banyak sentuhan interior atau aksesori seperti rumah pada umumnya. Gelaran karpet hijau menghampar di ruang sederhana itu. Di sekeliling dinding tebal terpasang foto sejumlah ulama dan kiai ternama dari Nahdlatul Ulama (NU). Salah seorang di antara mereka KH Hasyim Asy’ari.
Mungkin masih belum banyak yang mengetahui bahwa ruang besar di bangunan rumah Jalan Bubutan VI/2 itu dulu menjadi markas para ulama dan kiai. Ruang tersebut sering menjadi tampat musyawarah mereka. Tidak terkecuali pertemuan untuk membahas usaha merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Menurut Wakil Ketua PC NU Surabaya Sholahuddin Azmiy, wujud bangunan tidak banyak berubah. Dua pintu yang terhubung ke kamar dan dua pintu menuju ruang lain dipertahankan. Begitu juga dua jendela besar yang menjadi ciri khas bangunan kuno. ”Kami tidak bisa mengubah seenaknya karena ini warisan,” ujarnya kemarin.
Namun, rumah yang kini menjadi Kantor PC NU Surabaya tersebut belum menjadi cagar budaya (heritage). Kata Azmiy, di tempat itu para ulama dan kiai se-Jawa dan Madura berkumpul sebelum meletus perang 10 November 1945. Salah satu hasil pertemuan para ulama itu adalah keputusan yang disebut sebagai Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. (lihat grafis)
Ketua PC NU Kota Surabaya KH Syaiful Chalim mengaku masih ingat betul cerita para pendahulunya. Salah satunya tentang KH Ridwan Abdullah (pendiri lambang NU) yang tidak lain kakeknya.
Dituturkan, setelah Resolusi Jihad dikumandangkan ulama seperti KH Hasyim Asy’ari, kakeknya juga ikut mendapat tugas untuk melecut semangat para pejuang. ”Kiai Ridwan masuk ke barak-barak prajurit. Dia mengatakan ini perjuangan bersama antara santri, masyarakat, dan tentara,” kenangnya.
Dengan tidak menafikan peran tokoh dan para pahlawan lain, cerita Syaiful, Resolusi Jihad itu tentu sangat membakar emosi untuk turun ke medan laga. Sebab, ulama sudah menyatakan bahwa bela negara bersifat wajib dan siapa saja yang gugur termasuk syahid.
Kini, 65 tahun sudah Resolusi Jihad berlalu. Syaiful berharap, semangat jihad an perjuangan ulama kala itu mesti menjadi teladan bersama. Terutama generasi muda. ”Kita harus meniru semangat,” jelasnya. Tentu semangat jihad dalam konteks saat ini bisa diterapkan pada tindakan bersama-sama melawan kemiskinan dan kebodohan.
Dalam peta yang dikeluarkan pemkot, memang gedung yang disebut-sebut markas pejuang dan tokoh-tokoh NU itu tidak masuk cagar budaya. Di wilayah Bubutan, ada 17 bangunan yang masuk cagar budaya. Antara lain, Gereja Immanuel, Kantor PMK Pasar Turi, Tugu Pahlawan, Penjara Koblen, GNI, Makam Tembaan, eks RS Mardi Santoso (kini Hallo Surabaya), dan Kantor Gubernuran.
Prof Aminuddin Kasdi, anggota tim cagar budaya pemkot, mengatakan, untuk masuk dalam heritage mesti ada dokumen pendukung. ”Nah, resolusi jihad belum masuk dalam penulisan sejarah,” ujarnya. “Selama ini beberapa pejuang yang masih hidup belum pernah menyampaikan. ”Bisa jadi memang benar ada, tetapi tidak terkomunikasikan dengan baik,” jelasnya. (dim/c1/hud)


Berburu Arsip sampai Belanda


TIDAK mau resolusi jihad hilang dari ingatan sejarah, menuntut tokoh NU berinovasi. Mereka berencana untuk membuat monumen di kantor Jalan Bubutan tersebut. Rencananya, monumen akan berupa memorabilia berkumpulnya para ulama dan kiai se-Jawa dan Madura di Surabaya. Rencana pembangunan sendiri sudah hampir final termasuk pengumpulan bukti sejarah.
Wakil Ketua PC NU Surabaya Sholahuddin Azmiy mengatakan, jika ruangan-ruangan kantor tersebut telah disiapkan. Salah satu lokasi utama adalah ruang utama kantor yang berada di tengah bangunan.
Selain berisikan nuansa resolusi jihad, muatan tentang sejarah NU juga akan diperkaya. Termasuk foto-foto hingga dokumentasi audiovisual dan video. Dia mengaku, pengumpulan arsip-arsip itu sudah terkumpul. Namun, belum sempurna. Azmiy berharap agar para ulama NU yang memiliki potongan sejarah bisa menyerahkan ke Bubutan.”Karena selama ini resolusi jihad seperti potongan sejarah yang terlupakan,” tambahnya.
Karena arsipnya banyak yang tersebar, panitia pembuatan monumen membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mengumpulkan. ”Termasuk copy arsip resolusi jihad yang kami temukan di Belanda,” tandasnya. (dim/hud)


Jalan Bung Tomo Cuma 550 Meter (3)


Satu di antara sosok yang selalu disebut dalam peristiwa 10 November 1945 adalah Sutomo atau lebih terkenal dengan panggilan Bung Tomo. Saat perang meletus, dia menjabat pimpinan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang kali pertama bermarkas di kawasan Jalan Tembok Dukuh, Bubutan.

JALAN itu lumayan lebar, tapi tidak panjang. Panjangnya tidak lebih dari 550 meter. Lokasinya terbilang bukan poros utama melainkan sempalan. Yakni, sirip dari akses panjang Jalan Ngagel. Jalan tersebut bisa tembus ke Jalan Ngagel Jaya Selatan. Bagian kanan dan kiri jalan itu kini cukup padat. Ada beberapa ruko dan dua makam, Taman Makam Pahlawan Ngagel dan Kompleks Pemakaman Pucang.
Itulah nama Jalan Bung Tomo. Dulu, sebelum berubah menjadi Jalan Bung Tomo, namanya adalah Jalan Kencana. Keputusan perubahan nama jalan itu diambil sebelum Bung Tomo ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Bung Tomo diputuskan menjadi pahlawan nasional pada November 2008.
Pemilihan nama Jalan Bung Tomo di kawasan Ngagel itu memicu polemik. Sebab, masih banyak pilihan jalan yang sebetulnya dianggap lebih layak. Suparto Broto, misalnya. Dalam website-nya, sejarawan ternama itu pernah mengusulkan Jalan Indrapura dinamakan Jalan Bung Tomo.
Mengapa? Sebab, pada 9 November 1945, Indrapura termasuk salah satu titik sentral rakyat Surabaya yang memegang senjata dan harus menyerahkan senjata kepada tentara Inggris.
Meski jalan itu pendek dan terasa nyelempit, Bung Tomo kini tidak hanya diabadikan sebagai nama jalan beraroma pahlawan. Nama Bung Tomo juga dijadikan nama stadion atau gelanggang olahraga di kawasan Benowo. Wali kota yang menorehkan tinta emas nama Gelora Bung Tomo (GBT) itu adalah Bambang Dwi Hartono yang kini menjadi wakil wali kota mendampingi Wali Kota Tri Rismaharini.
Saat menyebut sosok Bung Tomo, yang terngiang-ngiang adalah pidatonya yang luar biasa dan berapi-api. Pidatonya membuat merinding. Pidato tersebut tegas dengan intonasi yang sangat kuat. Apalagi, ketika mengucapkan merdeka atau mati dan ketika membakar semangat dengan teriakan Allahu Akbar. Konon, sejumlah pihak menyatakan bahwa isi pidato yang dikumandangkan Bung Tomo itu terinspirasi Resolusi Jihad yang diprakarsai ulama pendiri NU. Yakni, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari.
Menurut Chairman Surabaya Heritage V3 Freddy H. Istanto, sosok Bung Tomo memang sangat identik dengan peristiwa 10 November 1945. Tanpa mengabaikan peran pahlawan lain, saat itu Bung Tomo memiliki peran sentral. Khususnya sebagai pembangkit semangat. ”Itu yang fenomenal. Sebab, Bung Tomo mampu menggerakkan banyak orang,” ujarnya.
Bung Tomo, menurut Freddy, adalah orator ulung. Kemampuannya saat itu dianggap fenomenal. Kondisi saat itu berbeda dengan saat ini yang ditunjang bermacam media. ”Eranya sudah berbeda. Tapi, Surabaya tetap butuh sosok yang mampu menjadi penggerak,” katanya.
Saat ini, memang tidak mudah melacak jejak dan rumah tinggal Bung Tomo di Surabaya. Menurut beberapa cerita sejarawan dan literatur, saat memimpin BPRI, Bung Tomo disebut-sebut sering berpindah-pindah tempat.
Dalam buku Bung Tomo Suamiku, markas Bung Tomo, antara lain, berada di Jalan Tembok Dukuh, Jalan Mawar, dan Jalan Biliton. Kabarnya, dia juga pernah menetap di sebuah rumah di Jalan Ijen, Malang. Yang jelas, saat memimpin BPRI, usianya masih relatif muda. Yakni, sekitar 25 tahun. ”Nah, kematangan pada usia muda itulah yang harus diteladani,” ungkap Freddy. (dim/c12/nw)


Berpesan Ingin Dimakamkan seperti Rakyat Biasa


Di antara deretan batu nisan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngagel, terdapat sebuah tulisan: Makam Pahlawan Nasional Bung Tomo (1920-1981). Makam itu dikelilingi bambu runcing kuning. Di makam berukuran sekitar 5 x 5 meter tersebut, juga ada sebuah pendopo. Tertulis dengan huruf kapital berwarna emas di sana SUTOMO, BOENG TOMO.
Di pintu masuk makam ada sebuah cuplikan pidato Bung Tomo saat perang 10 November. Bung Tomo adalah pahlawan yang lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920. Tepatnya di kawasan Kampung Blauran. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo. Ayah Bung Tomo pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam sebelum pindah ke Surabaya dan menjadi distributor lokal perusahaan mesin jahit.
Bung Tomo wafat di Padang Arafah, 7 Oktober 1981, pada umur 61 tahun saat naik haji. Jenazahnya lalu dimakamkan di TPU Ngagel. Putra pertama Bung Tomo, Bambang Sulistomo, mengatakan bahwa selama ini keluarga yang mengurus makam almarhum. Termasuk renovasi makam yang selesai pada 12 September 2009. Saat itu keluarga bersama Surabaya Society (SS) atau yang biasa disebut Seduluran Surabaya mengerjakan renovasi tersebut. “Tidak ada campur tangan pihak lain,” ungkapnya.
Makam yang terlihat saat ini memang sederhana. Meski berstatus makam pahlawan nasional, makam Bung Tomo tidak berada di areal makam pahlawan yang terletak hanya beberapa meter di depan kompleks TPU Ngagel. Renovasinya juga tidak berlebihan. Sebab, sebelum meninggal, Bung Tomo berpesan agar dimakamkan bersama rakyat biasa lain, bukan di taman makam pahlawan. “Makam kami tinggikan agar tidak kebanjiran saat hujan,” kata Bambang.
Menurut Endang, penjaga makam Bung Tomo, makam pengobar semangat arek-arek Suroboyo yang sangat heroik pada 10 November 1945 tersebut jarang dikunjungi warga. Kecuali keluarga dan beberapa kerabat. Karena itu, makam yang didominasi warna kuning tersebut selalu terkunci. Gembok baru dibuka ketika makam dibersihkan atau ada kunjungan. “Khawatir disalahgunakan karena ada pendoponya,” ujar Endang.
Soal perawatan, lanjut perempuan paro baya itu, seluruhnya ditangani keluarga Bung Tomo. Selama hampir dua tahun dia menjaga makam tersebut, tidak ada wakil pemerintah yang memberikan perhatian. “Keluarga yang sering ke sini untuk merawat dan membeli keperluan makam,” tambah Endang. (dim/c9/roz)


Menanti Jalan Roeslan Abdul Gani (4)


Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Jalan Bubutan menjadi salah satu saksi bisu peristiwa 10 November 1945. Seperti apa?

JIKA tengah melintas di Jalan Bubutan jalur sebelah kiri, silakan melongok ke bangunan bernomor 87. Di situlah GNI berada. Di sisi utara kompleks GNI terdapat sebuah tugu sebagai penanda perjuangan arek-arek Suroboyo saat berperang pada 10 November. Di tugu itu ada prasasti bertulisan “Gedung ini menjadi pusat pergerakan na­sional”. Di antaranya, pada 25-27 Agustus 1945, Ko­mite Nasional Indonesia (KNI) dan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk di gedung te­sebut.
Selain Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang dipimpin Bung Tomo dan beberapa elemen lain, BKR dan KNI menjadi wadah para tokoh dan rakyat untuk melawan tentara Inggris dan sekutunya. Di GNI diadakan rapat penting, Samodra Bersejarah. Pertemuan akbar yang menentang Ken Peitai itu terlaksana di Tambaksari pada 21 September 1945.
Dengan tidak mengabaikan tokoh lain, satu di antara tokoh yang berpengaruh dalam beberapa kali rapat di GNI itu adalah Roeslan Abdul Gani atau biasa dipanggil Cak Roes. Namun, sejauh ini, nama Cak Roes belum juga ditetapkan sebagai salah satu nama jalan di Kota Pahlawan. Toh, hingga kini, hal tersebut belum terwujud. Dalam perkembangannya, M. Noer (mantan Gubernur Jatim) yang menjadi nama jalan lebih dulu menggantikan Jalan Kedungcowek.
Kala itu, ada beberapa usul mengganti Jalan Perak Barat atau Perak Timur dengan nama Jalan Roeslan Abdul Gani. Mengapa? Sebab, tentara Inggris kali pertama mendarat di Tanjung Perak pada 25 Oktober 1945. Jalur Perak itu juga menjadi akses utama tentara di bawah komando Brigjen Mallaby. Apakah kelak bakal terwujud? Tunggu saja.
Suparto Brata, salah seorang penulis buku tentang 10 No­vember, menyatakan bahwa pada 23-25 Agustus 1945 di GNI memang diadakan rapat terus-menerus. Pelopornya adalah angkatan muda yang membentuk KNI. Saat itu, terpilih susunan KNI Karesidenan Surabaya dengan Doel Arnowo sebagai ketua dan Roeslan Abdulgani sebagai salah satu wakilnya. ”Salah satu hasil rapat adalah memutuskan bahwa seluruh rakyat Surabaya harus tetap mengibarkan sang Merah Putih,” ujarnya.
Padahal, saat itu, Ken Peitai (pasukan Jepang) yang berupaya menghalangi upaya masyarakat untuk mengibarkan bendera Indonesia. Namun, larangan Jepang itu tidak digubris rakyat Surabaya. Dwiwarna berkibar di mana-mana. Padahal, gerakan pengibaran bendera tersebut baru diumumkan presiden pada 1 September 1945. Karena itu, Surabaya menjadi salah satu daerah yang paling berani.
Sikap Ken Peitai yang terus menghalangi pengibaran bendera itulah yang disorot Cak Roes. Saking jengkelnya dengan pasukan Nippon, dia membuat gerakan dengan nama Flaggen Actie. ”Itu adalah salah satu sikap bonek (bondo nekat) arek Suroboyo yang patut diberi jempol.” (dim/c12/hud)


Cagar Budaya Nomor Satu


BERBAGAI peristiwa yang terekam di GNI Jalan Bubutan membuat bangunan tersebut masuk dalam deretan heritage (cagar budaya ). Karena itu, mesti terus dipelihara sampai kapan pun. Di antara ratusan bangunan dan situs cagar budaya, GNI tercatat di nomor urut satu. Hal itu tertuang dalam SK wali kota tahun 2006.
Papan dari dinas kebudayaan dan pariwisata (disbudpar) tentang cagar budaya itu diletakkan pada tembok gedung. Bersanding dengan pernyataan Presiden Soekarno tentang GNI sebagai tanda terima kasih kepada para pejuang.
Namun, Kadisbudpar Pemkot Surabaya Wiwiek Widayati menyatakan bahwa urutan tersebut sebetulnya tidak bermakna. Artinya, GNI bukan yang paling istimewa di antara bangunan atau cagar budaya lain. ”Hanya urutan saat inventaris,” ujarnya.
Widayati tidak menampik banyaknya sejarah yang tertorehkan pada tempat tersebut. Tetapi, hal tersebut juga tidak membuat gedung itu lebih diistimewakan. Khususnya dari segi perawatan dan pemeliharaan.
Dikatakan, sampai saat ini seluruh bangunan cagar budaya masih menjadi tanggung jawab pemilik. ”Namun, pemkot mempunyai rencana untuk memberikan insensif bagi para pemilik cagar budaya,” ujarnya.
Pernyataan tersebut dibenarkan Murtiningrum, nenek berusia 65 tahun yang menjadi juru kunci makam dr Soetomo dan GNI. Kata dia, selama ini soal GNI segala sesuatunya diurus Yayasan GNI. Termasuk makam dr Soetomo yang berada satu kompleks. ”Bantuan lain biasanya dari swasta atau sekolahan,” katanya.
Lebih lanjut, Murtiningrum menjelaskan bahwa meski berasal dari dana sendiri dan terbilang pas-pasan, dirinya selalu sigap menjalankan tugas membersihkan gedung dan makam. Maklum, area tersebut masih kerap dikunjungi para pecinta sejarah. Terutama saat momentum bersejarah seperti Hari Pahlawan, Hari Kebangkitan Nasional, dan hari-hari penting lain.
Murtiningrum mengaku malu kalau makam pahlawan nasional dan gedung bersejarah itu sampai kotor. ”Karena di sini dahulu tempatnya pemuda mengadakan rapat akbar. Sejarahnya sangat kuat dengan Surabaya,” tuturnya.
Dia masih ingat betul setelah pertempuran dan Indonesia memasuki masa damai, GNI menjadi salah satu pusat keramaian kota. Acara seperti ludruk dan wayang sering dilaksanakan. Namun, saat ini gedung tersebut mulai kehilangan makna, kalah oleh mal atau plaza. Tidak seperti dahulu, kini cenderung sepi. ”Padahal, Pak Tom (dr Soetomo, Red) berpesan agar tempat ini bisa terus menjadi pusat kegiatan,” ungkapnya. (dim/c1/hud)


Kabut Gelap dari Gedung Internatio (5)


Hari ini (30/10), tepat 65 tahun yang lalu, Brigjen Mallaby tewas dalam amuk arek-arek Suroboyo pada peristiwa 10 November 1945. Selain menjadi markas tentara Inggris, Gedung Internatio merupakan saksi bisu terbunuhnya jenderal pemimpin tentara Inggris itu. Siapa sebetulnya pembunuh Mallaby?

BAGI sebagian warga kota, nama Gedung Internatio mungkin masih terasa asing. Padahal, bangunan tersebut boleh dibilang sangat bersejarah dalam babakan sejarah Kota Pahlawan. Sebab, di kawasan itulah salah satu titik pertempuran dahsyat meletus. Jumlah korban jiwa mencapai ribuan. Di depan Gedung Internatio itu pula, Mallaby -yang bernama lengkap Aubertin Walter Sothern Mallaby- mengembuskan napas terakhir.
Gedung Internatio terletak di Jalan Taman Jayengrono (dulu Willemstraat) atau dekat Jalan Rajawali sebelah kiri. Cagar budaya tersebut dibangun pada 1929 oleh Ir F.J.L. Ghijsels dan H. Von Essen dari AIA Architectural Office (Algemeen Ingenieurs id Architecten Bureau). Gedung berarsitek modern itu disebut Internatio (Internationale Crediet Handels Vereeniging Rotterdam.
Pertempuran di sekitar Gedung Internatio terjadi sehari setelah Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya. Ketiganya sengaja diminta Inggris untuk bisa meredam kemarahan rakyat yang sudah sangat jengkel terhadap perlakuan tentara Inggris dan sekutunya. Kala itu mereka pun mengadakan perundingan dengan pimpinan Inggris di Gedung Negara Grahadi yang kala itu dipimpin Gubernur Suryo. Pada 30 Oktober siang, akhirnya tercapai perjanjian untuk tidak saling menembak dan tentara Inggris siap menarik pasukan.
Setelah perjanjian disepakati, rombongan Soekarno kembali ke Jakarta. Sorenya Mallaby berkeliling ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan perjanjian tersebut. Ketika dekat dengan markas Inggris di Gedung Internatio, mobil Mallaby dikepung para pejuang yang memang sebelumnya telah mengepung gedung itu.
Di pihak lain, satu di antara tokoh Surabaya yang berupaya masuk ke Gedung Internatio adalah HR Mohammad (sudah menjadi nama jalan di Surabaya Barat) untuk menyampaikan hasil perundingan di kantor gubernuran tersebut. Namun, sejuah ini belum jelas hasil pertemuan itu. Yang pasti, tidak lama setelah itu, bom dan tembakan menyalak di mana-mana sampai ada kabar bahwa Mallaby telah terbunuh.
Mobil Buick yang ditumpangi Mallaby hancur. Tewasnya Mallaby itulah yang membuat pihak Inggris geram. Mayjen Eric Carden Robert Mansergh sebagai pengganti Mallaby langsung mengeluarkan ultimatum 10 November. Intinya, Inggris meminta rakyat Indonesia menyerahkan senjata dan menghentikan perlawanan. Kalau tidak, tentara Inggris siap melakukan penyerangan habis-habisan. Ancaman itu tidak lantas menyurutkan langkah para pejuang.
“Tetapi, sampai sekarang belum diketahui pasti apa yang sebenarnya terjadi saat itu dan siapa yang membuat Mallaby terbunuh,” ujar Suparto Brata, salah seorang penulis buku tentang pertempuran 10 November.
Menurut Suparto, sampai 65 tahun ini, berbagai hal mengenai Mallaby memang terbilang masih simpang siur. Termasuk kebenaran jenazah Mallaby. Yang diyakini Suparto, dr Soegiri dari tentara angkatan laut kala itu menyebut telah menemukan jenazah Mallaby. “Itu hasil penelitian. Soegiri saat itu langsung membawanya ke Rumah Sakit Simpang,” katanya. Wajah dan tubuh Mallaby sudah sulit dikenali karena sebagian hangus dan hancur. Kabarnya, salah satu cirinya adalah bekas jam tangan di kedua lengannya.
Setelah meyakini itu, jenazah Mallaby dimakamkan di Kembang Kuning. Ketika keadaan kondusif dan tidak ada lagi gejolak, makam Mallaby digali dan dipindahkan ke Jakarta. Di ibu kota itulah kabar terakhir tentang Mallaby diketahui Suparto. “Yang jelas, sampai saat ini saya tidak mengetahui secara persis di mana makam Mallaby berada,” ungkapnya.
Bagaimana nasib mobil Buick yang ditumpangi Mallaby? Suparto juga tidak mengetahui persis. Dalam beberapa penelusuran, setelah insiden tersebut tidak ada yang memedulikan mobil Mallaby. Dia sendiri meyakini bahwa mobil Mallaby hancur. Sebab, pada berbagai dokumentasi yang dia miliki dan lihat tentang mobil-mobil Mallaby, tidak ada yang benar. “Gambar yang banyak beredar bukan mobil saat kejadian. Itu mobil tiruan yang diambil pada peringatan 10 November 1952,” ujarnya. (dim/c9/hud)


Masih Dibiarkan tanpa Aktivitas


KONDISI gedung bersejarah Internatio kini terbilang memprihatinkan. Fisik bangunan masih terlihat berdiri angkuh. Begitu pula halnya dengan kaca atau kusen gedung, sebagian besar masih tampak utuh. Tapi, cat dindingnya sudah banyak yang memudar. Besi-besi hitam yang menjadi aksesori dan pengaman pintu serta jendela mulai dimakan karat.
Sekeliling gedung yang dibangun pada era sebelum kemerdekaan itu kini ditutupi seng setinggi dua meter. Jika dilihat dari sela-sela seng, tampak kondisi gedung yang terbilang kurang terawat. Banyak tanaman liar dan perlengkapan gedung yang dibiarkan berserakan begitu saja.
Kabarnya, gedung itu dimiliki Amelia Wibowo, seorang pengusaha yang berhasil menyulap eks RS Mardi Santoso menjadi Restoran Hallo Surabaya di Jalan Bubutan. Nah, pemasangan seng yang mengelilingi Internatio tersebut, konon, untuk kepentingan proses renovasi. ”Bisa jadi, bakal ada renovasi,” ujar Prof Aminuddin Kasdi, anggota tim cagar budaya pemkot.
Lebih lanjut Aminuddin menjelaskan, gedung Internatio termasuk bangunan cagar budaya tipe A. Dengan demikian, sang pemilik tidak boleh sembarangan merevitalisasi gedung tersebut. Khususnya bentuk bangunan yang khas dengan banyaknya jendela dan pintu. ”Namun, sampai saat ini saya belum dengar adanya rencana revitalisasi,” imbuh guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.
Sayang, Amelia Wibowo belum berhasil dikonfirmasi untuk memastikan nasib gedung Internatio ke depan. Namun, sebelumnya, kepada Jawa Pos Amelia pernah mengaku tetap sangat peduli terhadap bangunan cagar budaya. Seperti halnya RS Mardi Santoso yang telah diubah menjadi restoran khas bernuansa tempo dulu, pihaknya juga siap memberikan sentuhan baru kepada gedung Internatio. ”Keaslian bentuk cagar budaya bakal tetap dijaga,” katanya saat itu.
Sementara itu, jika memang ingin menghidupkan kembali kawasan bersejarah tersebut dengan merevitalisasi Taman Jayengrono atau Memorial Park, agaknya, pemkot mesti bersikap tegas terhadap pedagang kaki lima (PKL) maupun angkutan umum. Sebab, kondisi di kawasan itu saat ini sungguh semrawut. Memang kawasan tersebut beberapa kali ditertibkan. Namun, PKL maupun angkutan umum itu masih mbandel. Karena itu, butuh ketegasan dan keseriusan. (dim/c3/hud)


Saputangan Merah Putih Jasin (6)


Sejarah juga mencatatkan nama M. Jasin sebagai salah seorang sosok penting dalam peristiwa 10 November 1945. Kala itu dia adalah komandan Polisi Istimewa yang merupakan cikal bakal Polri.

SEBUAH monumen berdiri tegak di perempatan Jalan Raya Darmo-Polisi Istimewa. Monumen dengan dua lambang polisi berukuran besar itu begitu jelas. Taman di sekeliling monumen tersebut cukup apik. Rumput dan bunga menghiasinya. Meski demikian, pasti tidak semua orang tahu bahwa bangunan tersebut merupakan salah satu tetenger Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
Di monumen itu, terdapat prasasti emas nan penting. Bunyi tulisannya: Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan polisi sebagai Polisi Repuiblik Indonesia.
Jika dibandingkan dengan Bung Tomo, bisa jadi nama Jasin kurang familier saat ini. Padahal, perannya dalam upaya mempertahankan Surabaya kala pendudukan tentara Inggris dan sekutu juga tidak perlu disangsikan. Dia menurunkan paksa bendera Jepang di markas Polisi Istimewa di gedung ST Louis, lalu menggantinya dengan sang Merah Putih.
Menurut Suparto Broto, penulis sejarah tentang pertempuran 10 November 1945, polisi berpangkat inspektur I itu juga menjadi salah seorang tokoh dalam penyerbuan arek-arek Suroboyo ke markas Kempetai di kawasan Pasar Besar pada 2 Oktober 1945. Terjadi baku tembak dahsyat saat itu. Di tengah peluru yang berhamburan, Jasin yang menerobos kawat berduri tersebut langsung lari ke ruang Kempeitai. Dia ingin bertemu dengan Takahara, salah seorang pembesar Jepang. Kebetulan, Jasin mengantongi saputangan merah putih. Saputangan itu diserahkan kepada komandan Kempeitai, lalu ditarik ke luar.
Tangan pemimpin Kempeitai yang memegang saputangan merah putih tersebut dilambai-lambaikan ke hadapan rakyat yang mengepung gedung itu. Seluruh rakyat bersorak. Sebab, itu menandakan pengakuan terhadap Republik Indonesia.
Jasin juga menjadi salah seorang tokoh sentral yang memimpin perebutan senjata ke gudang-gudang milik Jepang. Salah satu gudang tersebut kini menjadi gedung Don Bosco di Jalan Tidar. Senjata-senjata itu lantas dibagikan kepada para pejuang lain untuk melawan tentara Inggris. (dim/c11/hud)


Menjadi Kompleks Pendidikan Ternama


GEDUNG Don Bosco termasuk salah satu di antara bangunan cagar budaya yang mesti dilestarikan. Gedung di Jalan Tidar tersebut juga memiliki catatan penting perjalanan Kota Pahlawan. Saat pertempuran 10 November 1945 meletus, gedung itu disebut-sebut sebagai salah satu markas senjata Jepang. Nama Don Bosco, ternyata, diambil dari nama seorang pastor Italia bernama Johanes Bosco.
Gedung itu pada 1927 menjadi tempat Yayasan Don (Bapak) Bosco yang mempunyai tujuan sama seperti Pastor Bosco. Awalnya, yayasan yang mempunyai banyak tanggungan anak asuh tersebut belum memiliki panti sendiri. Anak-anak itu terpaksa ditampung di panti-panti lain dan rumah pondokan. Pada 2 Desember 1931, Yayasan Don Bosco mempunyai panti di gedung sewaan di Jalan Ngemplak. Pada 1937, yayasan tersebut baru memiliki panti sendiri di Jalan Tidar itu.
Kini, 65 tahun pasca peristiwa 10 November, gedung Don Bosco tetap terawat dengan baik. Saat ini, bangunan tersebut menjelma menjadi salah satu kompleks pendidikan ternama di Kota Pahlawan. Selain panti asuhan, di kompleks itu berdiri TK, SD, SMP yang dikelola Yayasan St Louis serta SMA dan SMK yang dikelola oleh Yayasan Lazaris. Selain itu, ada beberapa poli kesehatan. ”Sudah lama jadi kompleks pendidikan,” ujar Wakasek SMAK St Louis 2 Bernadus Widodo.
Di salah satu sudut Panti Asuhan Don Bosco itu, terdapat sebuah tulisan bertinta warna emas. Tulisan tersebut berbahasa Belanda dengan tanda pengenal Van De Don Bosco sebagai pendiri gedung yang dibangun sekitar 1930 itu. Bernadus Widodo membenarkan bahwa gedung yang kini menjadi sekolah tersebut dulu merupakan tempat penyimpanan senjata. ”Yang banyak sejarahnya itu gedung di bagian depan,” ujarnya.
Bangunan yang dimaksud adalah gedung yang saat ini dijadikan sebagai kantor dan panti asuhan. Gedung itu juga dimanfaatkan sebagai asrama suster. Saat ini, di kompleks tersebut didirikan. ”SMA, SMK, TK, dan SD sekarang sudah menggunakan gedung baru,” katanya.
Nah, pengadaan gedung baru itu dimaksudkan untuk meningkatkan sarana dan prasarana kegiatan belajar. Sebab, hingga saat ini, warga yang berminat belajar di kompleks pendidikan tersebut sangat tinggi. Karena itu, berbagai pihak memutuskan untuk menambah bangunan tanpa mengubah bentuk gedung utama yang memiliki banyak kisah sejarah. (puj/c6/hud)


Kegigihan Dokter Gigi Moestopo (7)


Gedung PTPN XI di Jalan Merak juga menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah 10 November 1945. Dulu gedung bernama Hollands Vereeniging Amsterdams (HVA) itu pernah menjadi markas Barisan Keamanan Rakyat (BKR) Jatim di bawah pimpinan Moestopo.

GEDUNG bergaya kolonial langsung terlihat saat melintas di Jalan Merak, Krembangan. Taman yang ditumbuhi berbagai pohon dan warna krem gedung terlihat menyatu. Di bawah jam dinding yang terdapat di wajah depan bangunan itu terpampang tulisan PT Perkebunan Nusantara XI (Persero).
Gedung yang pertama dibangun biro arsitek Hulswit, Fermont & ED pada 1920-1925 itu lebih dikenal sebagai saksi konglomerasi industri gula di Nusantara. Padahal, gedung itu juga merekam jejak para pejuang dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Satu di antara nama tokoh yang ”menguasai” gedung itu adalah Moestopo.
Penulis buku tentang peristiwa 10 November 1945, Suparto Brata menceritakan, sosok Moestopo memang termasuk tokoh menonjol sejak pergolakan perebutan senjata milik Jepang. Kata dia, dalam beberapa perundingan dan peristiwa penting adik kandung Wali Kota Mustajab itu selalu muncul. Termasuk perjanjian serah terima kekuasaan sekaligus pelucutan senjata Jepang dari Mayjen Iwabe Shigeo selaku panglima angkatan darat Jepang di gedung HVA tersebut.
Dalam beberapa cerita saksi sejarah, sarjana dokter gigi yang namanya sudah menjadi jalan di Kota Pahlawan ini benar-benar gigih. ”Saat tentara sekutu sampai di Surabaya, Moestopo juga yang pertama menghadapi,” ujar Suparto. Sebagai komandan BKR Jatim kala itu, memang Moestopo mengemban peran penting.
Selain memiliki keberanian yang luar biasa, Moestopo dikenal sebagai juru runding yang ulet. Berbagai perundingan dilakukan Moestopo dengan tentara sekutu sebagai pengganti Gubernur Soerjo. Banyak keputusan yang dihasilkan. Di antaranya tentara sekutu menghentikan gerakan sampai 800 meter dari Tanjung Perak.
”Saat sudah ditempati Moestopo, gedung (PTPN) itu juga dijadikan tempat berunding antara pejuang dan Inggris,” imbuh Suparto.
Tak hanya kegigihan yang dikenang Suparto. Dia juga cukup mengenal sosok Moestopo sebagai pribadi dengan kemampuan mirip Bung Tomo. Yakni, keahlian sebagai orator. Saat Inggris hendak menginjakkan kaki di Surabaya melalui Pelabuhan Tanjung Perak pada 25 Oktober 1945, Moestopo ikut berperan membakar semangat Arek Suroboyo melalui siaran di radio untuk tetap waspada.
Moestopo juga pandai menggertak tentara Sekutu. ”Inggris! Nica! Jangan mendarat! Kalian orang terpelajar! Tahu aturan! Jangan mendarat! Jangan mendarat,” ucapnya menirukan Moestopo saat itu.
Moestopo meninggal di Bandung pada 29 September 1986. Pahlawan nasional itu juga dimakamkan di Bandug. Namun, nama Moestopo yang ditetapkan sebagai pahlwan nasional pada 2007 itu masih terus harum di Surabaya. Selain dikenal sebagai pejuang 10 November, Moestopo tercatat sebagai orang yang ikut andil dalam membangun pendidikan di Kota Pahlawan. Sebab, dia pernah menjadi unsur pimpinan di Kedokteran Gigi Universitas Airlangga (Unair) dan RSUD dr Soetomo kala itu. (dim/c2/hud)


Pemkot Apresiasi Pengelola Bangunan


TIDAK banyak bangunan dan situs cagar budaya (heritage) di Kota Pahlawan yang terawat dengan baik. Di antara yang sedikit itu adalah gedung PTPN XI di Jalan Merak. Pengelola gedung tersebut juga tetap menjaga aroma klasik gedung peninggalan zaman Belanda itu. Pola lobi pada ruang transisi utama, kemudian ruang terbuka di tengahnya, plus tiang-tiang tinggi tetap utuh. Begitu juga bentuk bangunan yang memiliki banyak lorong dan jendela.
Ornamen-ornamen tempo dulu juga tetap terpelihara dengan baik. Salah satunya perjalanan tiga lambang Surabaya di lobi gedung. Keaslian lantai, kayu, dan besi yang menjadi pintu atau jendela masih terlihat. Bahkan, sentuhan permainan lampu di lorong-lorong gedung makin membuat gedung PTPN XI khas dan artistik.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemkot Wiwiek Widayati mengatakan, gedung PTPN XI termasuk salah satu bangunan cagar budaya yang memiliki tingkat keterawatan tinggi. Meski hingga saat ini belum ada insentif bagi para pemilik bangunan cagar budaya, PTPN bisa memenuhi tanggung jawabnya menjaga bangunan kuno. ”Semoga pemilik bangunan cagar budaya lain bisa mencontoh,” ujarnya.
Sekretaris Perusahaan PTPN XI Adig Suwandi menjelaskan, pihaknya memang berkomitmen dan konsisten dengan cagar budaya. Menurut dia, PTPN XI akan melakukan yang terbaik untuk menjaga keaslian dan keutuhan bangunan peninggalan Belanda itu. Baginya, gedung tersebut tidak hanya untuk aktivitas perkantoran, tetapi juga menjadi saksi sejarah. ”Banyak nilai yang harus dipertahankan,” imbuhnya. Kondisi itu setidaknya bisa dlihat dari beberapa diorama yang terdapat di lantai 2 gedung tersebut. Di situ terdapat diorama yang memiliki pengaruh pada perekonomian bangsa Indonesia. (dim/hud)


Langkah Terakhir sang Gubernur (8)


Nama lengkapnya Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo. Namun, dia lebih akrab disebut Gubernur Soerjo. Dia tidak lain adalah gubernur pertama Jawa Timur (Jatim) setelah kemerdekaan.

PATUNG di depan Gedung Negara Grahadi, Jalan Gubernur Suryo, itu menjulang tinggi. Terlihat sesosok pria yang mengenakan peci berdiri tegak dengan sikap sempurna. Sosok tersebut adalah Soerjo, gubernur pertama Jatim sekaligus sang pahlawan. Patung itu merupakan satu di antara tetenger (landmark) di jantung Kota Pahlawan.
Pembuat patung tersebut adalah Thalib Prasojo, alumnus Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera) angkatan 1967. Patung Gubernur Suryo itu dibuat oleh perupa kelahiran Bojonegoro itu pada 1975, ketika wali kota Surabaya dijabat oleh Muhadji Wijaya. Kelak, kali pertama Soerjo menduduki kursi sebagai gubernur pada 12 Oktober 1945 dijadikan patokan Hari Jadi Provinsi Jatim.
Pijakan patung sang gubernur pertama Jatim tersebut berbentuk segi empat. Di tiga sisinya terdapat berbagai tulisan. Di antaranya, penggalan teks pidato Soerjo (lihat grafis).
Menurut Samidi M. Baskoro, sejarawan Universitas Airlangga (Unair), sosok Soerjo memang terbilang unik. Dia adalah salah seorang tokoh penting di balik meletusnya perang 10 November 1045. Sejak muda, Soerjo memang dikenal sebagai sosok yang memiliki semangat tinggi untuk membela tanah air. Karena itu, tidak heran jika Soerjo tidak gentar akan ancaman pimpinan tentara sekutu. Saat Brigjen Mallaby tewas, misalnya, kematian itu membuat murka Robert C. Mansergh. Panglima angkatan darat sekutu itu pun memanggil Soerjo untuk meminta tanggung jawab atas insiden pada 30 Oktober tersebut.
“Tetapi, Soerjo dengan tegas menolak permintaan Inggris untuk menyisir para pejuang,” cerita Samidi.
Pihak Inggris makin berang. Akhirnya, pada Jumat, 9 November 1945, secara tiba-tiba Inggris menyebarkan pamflet ultimatum lewat udara. Isinya, pejuang mengibarkan bendera putih. Jika tidak, Inggris akan membombardir melalui serangan udara, laut, dan darat mulai subuh pada 10 November 1945. Ultimatum itu membuat arek-arek Suroboyo makin waspada.
Soerjo melalui siaran radio meminta rakyat Jatim, terutama Surabaya, tetap tenang dan menunggu perintah dari Jakarta. Ternyata, kebijakan dari Jakarta menyerahkan sepenuhnya kepada Soerjo. Pada pukul 23.00, Soerjo lantas melakukan siaran di radio. Salah satu isi siarannya seperti tertulis dalam prasasti di patung yang berdiri tegak di Jalan Gubernur Suryo. “Lebih baik hancur daripada dijajah kembali,” ujar Samidi me­nirukan teks pidato Soerjo.
Sikap Soerjo yang tetap bertahan di Surabaya selama pertempuran dahsyat pantas diapresiasi. Sejarah mencatat, Soerjo merupakan birokrat terakhir yang melangkahkan kaki keluar Surabaya untuk membentuk pemerintahan darurat di Mojokerto. Sebab, sebagian besar wajah Su­ra­baya sudah hancur setelah di­bom­bardir sekutu. “Karena kondisi chaos, pemerintahan dipindah. Secara estafet Soerjo menjalankan pemerintahan dengan darurat,” paparnya. (dim/c8/hud)


Tak Banyak Berubah


KANTOR Gubernur di Jalan Pah­lawan juga menjadi saksi bisu amuk arek-arek Suroboyo melawan pen­jajah. Sejak sebelum kemerdekaan, Kantor Gubernur Jatim mengalami perpindahan lokasi beberapa kali. Pada zaman Belanda, awalnya kantor tersebut berada di sebuah gedung di Jalan Jembatan Merah. Kemudian, pada 1929, dibangun kantor baru yang berlokasi di Jalan Pahlawan 110. Pembangunan tersebut selesai pada 1931.
Pada masa pemerintahan Jepang, gedung tersebut difungsikan sebagai kantor Syuucho (karesidenan). Sebab, jabatan gubernur dalam organisasi pemerintahan Jepang tidak dikenal. Jabatan gubernur dihidupkan lagi pada masa kemerdekaan. Gubernur pertama adalah Soerjo.
Kepala Biro Umum Pemprov Jatim M. Amin mengatakan, tidak mudah menjaga bangunan cagar budaya itu. Setiap hari, setidaknya ada empat orang yang khusus ditugaskan untuk membenahi bangunan cagar budaya tersebut. ”Misalnya, menjaga jam kuno yang ada di atap gedung,” katanya.
Perawatan itu, misalnya, dilakukan dengan memberikan minyak dan oli. Fungsinya menjaga jam tersebut tidak berkarat. ”Kalau berkarat, jamnya tidak bisa jalan,” tambahnya.(puj/c6/hud)


Perobekan Bendera di Hotel Majapahit (9)


Siapa yang tidak tahu cerita perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato? Salah satu tokoh yang turut andil terjadinya perobekan bendera itu adalah sosok Residen Sudirman. Salah seorang pemuda Surabaya yang tak rela Surabaya tetap diduduki Belanda.

SEBUAH kamar terletak di sisi paling belakang Hotel Majaphit. Berada paling pojok dengan nomor 33. Di samping pintu cokelat berukuran besar terdapat sebuah papan nama bertuliskan, “Merdeka”. Menurut Marketing Manager Hotel Majapahit Pratiwi Sasotya Edi, ruang itu adalah kamar Hotel Majapahit dengan tipe Suite.
Namun, bisa jadi tidak semua orang tahu bahwa ruang tersebut kental dengan perang 10 November 1945. Sebab, pihak manajemen hotel tidak mengistimewakannya. Kamar itu memiliki isi yang sama dengan kamar Majapahit suite lain. ”Tetapi, kamar ini memiliki kisah istimewa karena saat diduduki Sekutu, kamar ini menjadi kantor utama,” ujar Pratiwi.
Majapahit Suite adalah sebuah kamar mewah yang memiliki fasilitas satu luxurious tempat tidur dengan pelayan eksklusif. Nah, kamar tersebut mempunyai sembilan tipe dengan tema berbeda. Yakni, Arjuna, Pandawa, Surabaya, Jawa, Madura, Oranye, Semeru, Sarkies, dan Merdeka. ”Kamar ini khusus diberi nama merdeka karena pascaperang 10 November hotel ini pernah bernama Hotel Merdeka,” imbuhnya.
Berdasar informasi yang diperolehnya, Residen Sudirman pernah berada di ruang itu untuk berunding dengan Sekutu. Saat itu, 18 September 1945, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr W.V.Ch Ploegman pada malam hari sekitar pukul 21.00 mengibarkan bendera Belanda di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato sisi sebelah utara.
Karena tidak ada izin dari pemerintah Indonesia, amarah para pemuda Surabaya meledak saat melihat bendera itu masih berkibar pada 19 September. Para pemuda menganggap Belanda mau menancapkan kekuasaan kembali di Indonesia dan dianggap melecehkan gerakan pengibaran bendera yang berlangsung di Surabaya.
Menurut penulis buku tentang 10 November Suparto Brata, tidak lama kemudian Residen Sudirman datang. Kedatangan pejuang dan diplomat ulung yang waktu itu menjabat wakil residen (fuku syuco gunseikan) itu menyibak kerumunan massa lalu masuk hotel. ”Yang diinginkan, Sudirman meminta bendera Belanda diturunkan,” ujarnya.
Sikap heorik Residen Sudirman terlihat saat Ploegman menolak permintaan itu. Berbagai sumber menyatakan, saat itu dengan angkuh dia menyatakan jika Belanda berhak berada di Indonesia karena negara tersebut merupakan kelompok Sekutu. Sikap itu dipicu oleh kemenangan Sekutu pada Perang Dunia II. ”Akhirnya terjadi perkelahian. Dan, perkelahian itulah yang memicu terjadinya perobekan bendera Belanda,” tuturnya. (dim/c2/mik)


Wakil Indonesia di Tingkat Internasional


HOTEL Majapahit adalah salah satu bangunan dan situs cagar budaya (heritage) di Surabaya yang terawat dengan baik. Maklum, hotel tersebut hingga kini masih aktif digunakan sebagai jujukan wisatawan lokal maupun internasional. Gaya arsitektur kolonial yang khas menjadikan hotel berbintang lima tersebut dituntut selalu tampil ciamik.
Itulah mengapa hingga kini hotel itu masih tertata apik dan bagus. Sebab, hotel yang berdiri pada 1910 tersebut adalah sebuah saksi sejarah terstigmanya Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Manajer Pemasaran Hotel Majapahit Pratiwi Sasotya Edi mengatakan bahwa pihaknya siap mempertahankan orisinalitas hotel. “Apalagi, gedung ini sangat cantik,” ucapnya.
Komitmen tersebut ditunjukkan dengan kebijakan yang berlaku di hotel itu. Yakni, renovasi dilakukan hanya pada sisi interior, sedangkan eksterior harus tetap pada bentuk aslinya. Karena itu, pengunjung hotel masih bisa menemui lantai, pintu, kosen, tiang, hingga bentuk bangunan yang asli sejak hotel tersebut dibangun. “Hotel ini juga termasuk cagar budaya, jadi tetap harus dijaga,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Jatim Jarianto memberikan apresiasi khusus terhadap manajemen Hotel Majapahit. Sebab, komitmennya dalam menjaga keutuhan hotel tersebut membuat hotel yang juga terkenal dengan nama Yamato dan Oranje itu bisa maju ke tingkat internasional. “Mengikuti ajang 2010 UNESCO Asia-Pacific Heritage Awards for Culture Heritage Conservation di Bangkok, Thailand,” ungkapnya.
Dia mengatakan, hotel yang berada di Jalan Tunjungan itu memiliki kans besar untuk diakui Unesco. Sebab, hotel tersebut punya keunggulan dari sisi sejarah. Hotel itu menjadi saksi hidup perjuangan arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan. “Peristiwa penyobekan bendera sangat kuat bagi warga,” tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Surabaya menyertakan tiga bangunan cagar budayanya untuk bertarung di Thailand. Yakni RS Darmo, Gereja Santa Perawan Maria, dan Hotel Majapahit. Seluruhnya telah melalui proses penjaringan oleh internal Disparta Jatim. Seleksi tersebut juga melibatkan akademisi, sejarawan, dan budayawan. “Sayang, sampai saat ini belum ada kabarnya,” ucap dia. (dim/c9/mik)


Pendiam tapi Berotak Cerdas (10)


Cerita 10 November 1945 juga selalu menempatkan nama Sungkono di garda depan. Ketika pertempuran dahsyat itu meletus, Sungkono yang masih berpangkat kolonel kala itu menjabat komandan pertahanan kota.

BEGITU masuk ke ruang utama atau lobi Gedung Juang 45 di Jalan Mayjen Sungkono, sebuah patung setengah badan menyambut. Patung itu berpeci atau berkopiah. Letaknya berada di atas batu tegak setinggi orang dewasa. Di kanan dan kiri batu penyangga patung itu terdapat hiasan bunga sederhana. Patung itu terletak paling depan di antara koleksi foto-foto perjuangan yang dimiliki Dewan Harian Daerah (DHD) 45 Jawa Timur. Itulah patung Kolonel Sungkono.
Gedung itu terdiri atas tiga lantai. Bentuk bangunan Gedung Juang 45 tersebut sangat artistik. Di bagian depan bangunan, misalnya, terdapat ukiran berbentuk bambu runcing (takeyari). Yakni, senjata dari bambu dengan ujung dibuat lancip. Senjata inilah yang juga banyak digunakan arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdakaan. Gedung ini diresmikan Presiden Soeharto pada 17 April 1993. Selain sebagai kantor DHD 45 Jawa Timur, fungsinya juga pendukung dalam pengumpulan data otentik yang berkaitan sejarah perjuangan bangsa.
Anggota DHD 45 Jatim Eddy Samson mengatakan, Sungkono memang termasuk satu di antara tokoh yang luar biasa dalam peristiwa 10 November. Sebetulnya, sosok Sungkono itu terbilang pendiam atau kalem. Tidak meledak-ledak. Tetapi, di balik sifat pendiam itu, Sungkono memiliki keberanian dan semangat yang menyala-nyala. Yang bersangkutan juga masuk kategori pejuang cerdas dan pandai mengatur strategi peperangan. Karena itu, tidak salah Sungkono diangkat sebagai komandan pertahanan Kota Surabaya yang menjadi pusat pertempuran melawan Inggris dan sekutunya.
Sungkono bersama beberapa tokoh lain seperti drg Moestopo, Doel Arnowo, dan Ruslan Abdul Gani juga merupakan pendiri BKR dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Kesatuan inilah yang menjadi cikal-bakal TNI (Tentara Nasional Indonesia). Beberapa kesatuan perjuangan lahir, salah satunya juga berkat inisiatif Sungkono. Misalnya, Tentara Republik Indonesia Pelajar/TRIP (Nama kesatuan TRIP ini sekarang juga sudah menjadi nama jalan di kawasan Gunungsari, yaitu Jalan Mastrip).
Lebih lanjut, Eddy mengungkapkan, keberanian sosok Sungkono terlihat ketika menghadapi ultimatum tentara Inggris pada 9 November 1945. Bunyi ultimatum itu tidak lain agar rakyat Indonesia menyerahkan diri. Menghadapi ancaman itu, Sungkono lantas mengadakan pertemuan dengan beberapa elemen perjuangan di markas Jalan Pregolan 4. Inti pertemuan penting itu: Tetap mempertahankan Kota Surabaya! Juga, menetapkan Sungkono sebagai komandannya. (dim/c1/hud)


Miskin Data Peninggalan Sungkono


SEBAGIAN orang mungkin mengira Sungkono dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) 10 November. Sebab, makam tersebut berlokasi di Jalan Mayjen Sungkono. Namun, ternyata di tempat itu tidak ada makam pejuang yang diangkat menjadi panglima Divisi I/Gubernur Militer Jawa Timur pada 19 Desember 1948 tersebut. Kala itu, Sungkono juga mendapat amanat dari Panglima TNI Jenderal Sudirman untuk memberantas peristiwa Madiun 1948.
Anggota DHD 45 Jatim Eddy Samson juga menyatakan belum mengetahui persis lokasi makam Sungkono. Dia mengungkapkan, Sungkono memang termasuk salah seorang sosok yang kurang terdokumentasi dengan baik. Begitu juga dengan peninggalan-peninggalannya. ”Memang harus mulai dicari lagi,” ucapnya.
Pernyataan senada disampaikan Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi DHD 45 Jatim Suhardi Djaharuddin. Namun, dia menyebutkan, apresiasi terhadap Sungkono telah diabadikan dalam beberapa hal. Di antaranya, penamaan jalan hingga pembuatan patung khusus di Gedung Juang 45. Dikatakan, sebagai salah satu elemen pelestari jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan 45, pihaknya akan terus berupaya melengkapi data-data tentang pahlawan. ”Termasuk Mayjen Sungkono,” tuturnya. (dim/c5/hud)


Berkat Kesabaran Dokter Soetopo (11)


Nama dokter Soetopo bisa jadi tidak sepopuler Sutomo alias Bung Tomo dalam peristiwa 10 November 1945. Meski demikian, peran Soetopo yang saat itu menjabat kepala Rumah Sakit (RS) Pusat Simpang juga terbilang luar biasa.

Mungkin, tidak banyak yang tahu bahwa terdapat prasasti penting di depan Surabaya Plaza (dulu Delta Plaza), Jalan Pemuda. Sayang, kondisi prasasti itu kurang terawat. Tanaman yang menghiasi juga terlihat tidak dirapikan. Di sebagian sisi tembok prasasti itu ada semprotan cat hitam. Padahal, prasasti tersebut merupakan penanda bahwa kompleks itu juga menjadi salah satu saksi bisu perjuangan arek-arek Suroboyo untuk mempertahankan kemerdekaan.
Menurut Pandji R. Hadinoto, keluarga Soetopo, menangani ribuan korban peperangan tentu tidak mudah dan butuh kesabaran ekstra. Soetopo dan dokter lain tetap berjuang keras untuk memberikan pelayanan terbaik selama 24 jam. Saking banyaknya korban, tidak sedikit pasien yang terpaksa dikirim ke luar kota.
Menurut Pandji, para korban dan keluarganya tentu butuh logistik yang tidak sedikit. Karena itu, Soetopo juga bekerja keras untuk mengoordinasi pasokan makanan dari daerah-daerah lain. Di antaranya, ke Pemerintahan Sidoarjo. Saat itu Soetopo juga men­jadi pemimpin palang merah. Bersama beberapa dokter lain, seperti M. Soewandhie, Soetopo kerap menjadi pendamping tokoh pejuang ketika menyerbu markas tentara Inggris dan sekutunya. ”Yang menyerbu di depan, antara lain, barisan polisi istimewa yang dipimpin M. Jasin,” ujarnya. Dia mengetahui cerita tersebut dari catatan Soetopo.
Ketika menangani banyak pasien korban peperangan, fisik dan mental para perawat yang bekerja di RS Simpang drop. Soetopo memiliki cara lain agar tidak sampai kekurangan tenaga perawat. Yakni, memanggil tenaga sukarelawan melalui Radio Pemberontakan yang biasanya juga dipakai Bung Tomo untuk mengobarkan semangat Merdeka atau Mati. Cara itu ternyata sukses. Sukarelawan dadakan siap menjadi perawat dadakan. Jadi, Soetopo termasuk salah satu komandan penanganan korban peperangan. (dim/c12/hud)


Dikukuhkan sebagai Pejuang 45


PERAN dan perjuangan Soetopo dalam peristiwa 10 November 1945 berbuah penghargaan. Per 13 Juli 2010, dokter yang wafat pada 1982 itu mendapatkan pengukuhan sebagai Pejuang 45. Penghargaan tersebut sesuai dengan surat bernomor KM/Menkes/904/VII/2010 yang ditandatangani Menteri Kesehatan (Menkes) dr Endang Rahayu Sedyaningsih.
Dalam surat Menkes itu disebutkan juga jasa-jasa Soetopo. Yakni, dia pernah memimpin dokter-dokter Indonesia dalam pertemuan dengan dokter Belanda yang ditangkap dan diasingkan arek-arek Suroboyo serta menyerukan bantuan saat pertempuran 10 November. Soetopo juga pernah meminta bantuan Jawatan Kereta Api untuk mengangkut korban ke Malang dan Jombang serta memerintahkan evakuasi korban perang.
Selain itu, Soetopo adalah Menkes pada zaken kabinet (6 Januari-6 September 1950). Yang bersangkutan juga telah menerima Bintang Mahaputra Utama dan Bintang Satya Lencana Karya Satya serta Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan. “Pengukuhan Pejuang 45 dr Soetopo dilakukan di Taman Pemakaman Keluarga Kuncen, Jalan Surodinawan, Mojokerto,” ujar Pandji R. Hadinoto. Penghargaan itu, lanjut dia, tentu merupakan kebanggaan tersendiri dan menjadi kado dalam peringatan Hari Pahlawan tahun ini.
Namun, penghargaan tersebut bukan akhir segalanya. Lebih dari itu adalah bagaimana meneladani semangat dan perjuangan Soetopo untuk bangsa dan negara. Menurut Pandji, pihak keluarga akan terus memberikan yang terbaik bagi bangsa. Salah satunya melalui lembaga pendidikan anak buta yang sudah berjalan sejak 9 Maret 1959. “Lokasinya di Jalan Gebang Putih,” ungkapnya. (dim/c9/hud)


Yayasan Tetap Eksis


SUARA angklung mengalun ketika Jawa Pos mengunjungi lembaga pendidikan yang didirikan Soetopo di kawasan Gebang Putih. Di dalam gedung Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB) itu, terlihat puluhan siswa sedang belajar bermain musik. Di ruang latihan tersebut ada sebuah tulisan: I am blind, but not my heart (Saya buta, tetapi tidak hati saya).
Rila Wirawan, sang guru musik, terlihat asyik memainkan keyboard dan diiringi suara angklung. “Kami sedang berlatih untuk pertunjukan minggu depan,” katanya.
Dia menyatakan, musik adalah salah satu andalan di sekolah yang memiliki moto Yakin Pasti Akan Berhasil itu. Menurut Rila, sejak sekolah tersebut dibangun, musik angklung terus-menerus dipelajari. “Salah satu ekstrakurikuler yang paling menonjol di sekolah ini ya angklung,” ungkapnya.
YPAB yang saat ini dipimpin Prof Soedarso Djojonegoro (mantan rektor Unair) itu juga menaungi TK luar biasa, SD luar biasa, dan SMP luar biasa. Di kompleks tersebut ada sebuah asrama untuk siswa-siswi dari luar Surabaya. Selain angklung, YPAB memiliki ekstrakurikuler band, kolintang, karawitan, mengaji, dan pijat. (dim/c9/hud)


Mas Mansyur sang Penjaga Semangat (12)


Tak sedikit tokoh agama yang rajin turun gelanggang menjadi pengobar semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan dalam peristiwa 10 November 1945. Selain KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah, nama KH Mas Mansyur tidak bisa diabaikan. Mantan ketua umum Muhammadiyah itu juga salah seorang ulama pejuang.

MURAL di dinding eks Penjara Kalisosok di Jalan Kutilang kini kembali digarap House of Sampoerna (HoS). Sejumlah gambar yang menjadi tetenger Surabaya diwarnai dengan cantik. Warna-warna kontras memenuhi gambar seperti di Tugu Pahlawan, Patung Jalesveva Jayamahe, gedung PTPN XI, hingga gedung Cerutu. Aktivitas itu bagian dari rangkaian menyambut Hari Pahlawan.
General Manager HoS Ina Silas mengatakan, pengecatan pagar eks Penjara Kalisosok itu memang bertujuan agar bangunan bersejarah tersebut tetap bagus, bersih, dan tidak terlihat kumuh. Pihaknya tidak melukis kembali tembok sepanjang sekitar 200 meter itu, tetapi hanya merawatnya agar tetap memberikan kesan berbeda di ruas jalan tersebut.
”Meski bangunan itu bukan milik kami, ini bentuk komitmen untuk ikut memperindah cagar budaya,” ujarnya.
Dalam catatan sejarah, Kalisosok memang banyak menyimpan cerita penting. Satu di antara tokoh yang disebut-sebut pernah merasakan hidup di penjara peninggalan Belanda itu adalah KH Mas Mansyur. Bahkan, konon kiai yang dikenal dengan sebutan Empat Serangkai bersama Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantoro tersebut menderita sakit saat di penjara dan lantas meninggal pada 25 April 1946.
Prof Achmad Djainuri, rektor Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Sidoarjo, menyatakan bahwa perjuangan Kiai Mas Mansyur memang terbilang istimewa. Termasuk dalam peristiwa 10 November. Kiai Mas Mansyur merupakan salah seorang ulama yang ikut aktif menjaga semangat rakyat untuk tidak tunduk terhadap penjajah. Saat perang terus berkecamuk, penjajah meminta pahlawan nasional kelahiran Sawahan, Surabaya, 25 Juni 1896, itu ikut mengimbau agar rakyat menyerah. ”Kiai Mas Mansyur diminta untuk berpidato agar perang dihen­tikan dan tunduk kepada sekutu,” ujarnya.
Tentu saja, cerita Djainuri, permintaan tersebut ditolak. Karena dianggap tidak patuh, sekutu yang sudah menguasai Penjara Kalisosok setelah insiden perobekan bendera di Hotel Yamato langsung memasukkannya ke tahanan. Padahal, ketika itu kondisi Kiai Mas Mansyur belum sembuh dari sakitnya. ”NICA yang menangkap dan beliau meninggal di dalam penjara,” katanya.
Jauh sebelum peristiwa penangkapan tersebut, sosok Kiai Mas Mansyur juga dikenal sebagai tokoh pergerakan yang tangguh. Terutama pergerakan pendidikan, keagamaan, dan nasionalisme. Di antaranya, mendirikan wadah tashwirul afkar bersama KH Wahab Chasbullah. Juga, beberapa lemba­ga yang mengusung gerakan cinta tanah air. Kiai Wahab dan Kiai Mas Mansyur memang disebut-sebut sebagai kawan dekat sejak muda.
Karena semangat cinta tanah air itulah, Kiai Mas Mansyur bersama tokoh-tokoh agama lain aktif membakar semangat rakyat, khususnya santri, untuk tidak mau takluk di tangan penjajah. Berkat suntikan semangat tersebut, laskar pergerakan Islam, seperti Hizbullah, Sabillah, hingga Mujahiddin, makin kukuh berprinsip hidup atau mati! ”Ya, saat itu para ulama dan kiai memang ikut serta membakar semangat dan ber­tempur,” tegasnya.
Kiai Mas Mansyur dimamkam di kompleks pemakaman keluarga Gipo di kawasan Ampel. Di lahan seluas sekitar 7 x 4 meter itu makam sang Pahlawan Nasional berada bersama dengan puluhan makam keluarga lain. Lokasi makam itu berada di sisi belakang Masjid Ampel dan tidak jauh dengan makam Mbah Sholeh.
Menurut Djainuri, wafatnya Kiai Mas Mansyur ketika itu mendapat perhatian banyak pihak. Salah satunya dari Panglima Sudirman. Atas jasanya yang besar dalam perjalanan kemerdekaan, pemerintah langsung menganugerahi pahlawan nasional pada 1960. ”Banyak keteladanan yang bisa diambil. Termasuk cara berjuangnya yang memegang teguh agama,” tandasnya. (dim/hud)


Keberanian Laksamana Atmadji Sudah Teruji (13)


Jika di kesatuan polisi ada sosok M. Jasin, kesatuan darat terdapat nama H R. Muhammad, Kolonel Soengkono, drg Moestopo, serta beberapa tokoh lain, di kesatuan laut dalam peristiwa 10 November 1945 juga muncul nama tokoh. Satu di antara mereka adalah Laksamana III Atmadji.

PRASASTI berbentuk batu besar terdapat di sisi utara pintu masuk gedung Administrator Pelabuhan (Adpel) Tanjung Perak. Sebuah tulisan berwarna emas tampak memudar dengan dasar warna hitam menghiasi prasasti tersebut. Bunyinya: Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945 gedung ini pernah dipakai sebagai markas SPI (Serikat Pelayaran Indonesia) yang kemudian melebur dalam BKR (Barisan Keamanan Rakyat) Laut.
Prasasti itu diresmikan Panglima Armada RI (waktu itu) Laksamana Muda TNI Prasodjo Mahdi pada 25 Juli 1978. Di sisi selatan, terdapat juga prasasti yang ukurannya lebih kecil. Prasasti tersebut dibangun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemkot Surabaya. Isinya menyebutkan bahwa bangunan itu termasuk heritage (cagar budaya). Sesuai dengan peraturan daerah (perda), bangunan itu wajib dilestarikan.
Kepala Dinas Penerangan (Dispen) Armatim Letkol Laut Yayan Sugiana mengungkapkan, BKR Laut pertama dibentuk pada 10 September 1945 sebagai wadah perjuangan yang menggantikan SPI. Sejak pembentukan itu, BKR Laut menjadi ujung tombak menjaga keamanan pesisir. Mereka juga terlatih karena pernah bertugas di jajaran Koninklijke Marine (AL Belanda) dan Kaigun (AL Jepang). Melalui maklumat presiden, pada 5 Oktober 1945, nama BKR itu berubah menjadi TKR. (Tanggal perubahan nama BKR menjadi TKR itu dijadikan HUT TNI)
Ketika pertempuran meletus di Surabaya pada Oktober-November 1945, Atmadji memang tercatat sebagai TKR Laut untuk Surabaya yang saat itu menjadi anak buah drg Moestopo. Dalam beberapa perundingan dengan tentara Inggris di bawah pimpinan Brigjen Mallaby, Atmadji juga ikut mewarnai perundingan. Termasuk ketika menyambut kedatangan pasukan Inggris melalui Pelabuhan Tanjung Perak pada 25 Oktober 1945.
”Meski baru terbentuk, kekuatan yang sederhana tidak menyurutkan mereka untuk menggelar operasi lintas laut dalam rangka mempertahankan kemerdekaan,” tandasnya.
Sejatinya, para pejuang sudah siaga saat Inggris datang. Namun, Inggris berhasil mendarat karena Mallaby berhasil meyakinkan Moestopo bahwa mereka datang ke Surabaya untuk mengungsikan pasukan Jepang. Ternyata, janji dan pernyataan itu hanya kebohongan. Kondisi itu pun seolah menguji keberanian Atmadji dan tokoh lain bersama rakyat untuk terus berjuang sampai titik darah penghabisan.
Sebelum Inggris datang, sosok Atmadji termasuk salah seorang prajurit matra laut yang pemberani. Dia juga kerap ikut memimpin perebutan senjata dan perlengkapan perang Jepang sektor laut. Para pemuda pelaut yang tergabung dalam TKR, MKR, dan PAL pada 22 Oktober 1945 mulai melucuti Jepang dengan kapal selam bajakan jenis pemburu (submarine chaser) S-115. Salah satu tempat sasaran kala itu Pulau Nyamukan, Gresik. Operasi para pejuang itu berhasil menawan 419 tentara Jepang, 34 barkas pendarat, 217 senjata karabin, 22 senapan mesin, beberapa peti granat, dan peluru.
Hasil pelucutan itulah, antara lain, yang dijadikan senjata arek-arek Suroboyo untuk berjuang hidup atau mati melawan tentara Ing­gris dalam peristiwa 10 November. Namun, karena tentara Inggris datang dengan kekuatan luar biasa (disebut-sebut terbesar setelah Perang Dunia Kedua), pertempuran pun tidak seimbang. Di darat maupun laut.
Atmadji pun membuat kebijakan. Dia memindahkan markas tentara laut dari Ujung menuju Lawang. Sikap itu dilakukan untuk memudahkan koordinasi dan menyelamatkan cikal-bakal TNI-AL yang baru terbentuk itu. (dim/c1/hud)


Beruntung Tidak Kena Bom


Kepala Humas Adpel Utama Tanjung Perak Surabaya A. Wahid mengatakan, memang gedung itu sarat dengan cerita dan sejarah perjuangan. Maklum, sejak dibangun Belanda hingga pendudukan Jepang sampai meletusnya pertempuran 10 November 1945, gedung tersebut memiliki fungsi yang sama. ”Sejak awal dibangun, ini menara syahbandar. Paling dekat dengan laut,” ujarnya.
Pada saat peristiwa 10 November, banguan tersebut juga berfungsi penting, yakni markas para pejuang. Berdasar catatan sejarah adpel, di kawasan Gapura Surya yang menjadi terminal penumpang kapal laut juga rusak berat karena diserang dibom oleh tentara sekutu. Untungnya, gedung Adpel tidak rusak parah sehingga tetap bisa digunakan hingga saat ini. ”Karena itu, di sini juga ada prasasti penanda,” imbuhnya.
Untuk menjaga eksistensi dan orisinalitas gedung Adpel Tanjung Perak memberikan perlakuan khusus dalam perawatan. Sebab, gedung tersebut tergolong cagar budaya. Bahkan, pihaknya mengaku memiliki anggaran khusus agar bangunan bersejarah itu tetap lestari. ”Kami sudah berkomitmen untuk menjaga gedung. Gedung ini tidak akan kami ubah bentuknya,” ujar Wahid.
Lebih lanjut dia menjelaskan, setiap hari gedung tersebut selalu dibersihkan. Perawatan lebih mudah karena gedung menjadi perkantoran aktif. Tentu, setiap ada kerusakan selalu terpantau. Apabila ada kerusakan pada fisik yang tergolong bangunan lama, pihaknya tidak akan gegabah mengganti dengan barang baru. ”Sebisa mungkin tetap dikembalikan ke bentuk aslinya,” jelasnya. (dim/hud)


Berapi-api di Radio Pemberontakan (14)


Sebagian tokoh atau pimpin­an elemen perjuangan dalam peristiwa 10 November 1945 dikenal sebagai orator ulung. Salah satu media yang dimanfaatkan adalah radio. Nama radio itu cukup agigatif. Yakni, Radio Pemberontakan.

SEBUAH rumah di Jalan Mawar itu luas, sekitar 2.000 meter persegi. Namun, oleh pemilik agaknya telah dipecah menjadi beberapa bagian. Sebagian dikontrakkan dan sebagian lain untuk tempat usaha. Ada yang menjadi perusahaan advertising dan tempat kecantikan. Namun, tanda-tanda bahwa rumah itu termasuk rumah kuno masih tampak di beberapa sisi.
Itulah markas Radio Pemberontakan ketika peristiwa 10 November 1945 meletus. ”Ya, dahulu rumah ini memang markas pejuang,” ujar penghuni yang akrab dipanggil Bu Rin itu.
Di areal rumah itu juga terpasang tanda ca­gar budaya bertuliskan: Rumah Pak Amin (1935) Tempat Studio Pemancar Radio Ba­risan Pemberontakan Republik Indonesia (RBPRI). Di sini Ktut Tantri (warga negara Ame­rika) menyampaikan pidato­nya sehingga perjuangan Indonesia bisa dikenal di luar negeri.
Namun, menurut Bu Rin, saat ini di bangunan ter­sebut tidak ada lagi pe­ninggalan sejarahnya. Konon, saat Indo­nesia sudah dalam keadaan damai, perkakas ra­dio dikem­balikan ke RRI. ”Kata ayah saya, di sini hanya sebulan,” ujar perempuan paro baya itu.
Sejumlah catatan menyebutkan, tokoh yang cukup aktif siaran di Radio Pem­berontakan adalah Soemarsono. Kala itu, dia sebagai ketua Pemuda Rakyat Indonesia (PRI), salah satu elemen perjuangan untuk melawan tentara Inggris dan sekutu. Di antara kutipan pidatonya berbunyi: ”Tentara Inggris yang berkedok tentara sekutu itu sebenarnya tentara penjajah yang membantu NICA untuk menghancurkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Karena itu harus dilawan!”
Meski terbilang hanya seumur jagung, fungsi Radio Pemberontakan kala itu sungguh luar biasa. Sebab, informasi dan instruksi bisa diterima dengan cepat oleh rakyat. Selain Soemarsono, sosok yang juga kerap on-air adalah Sutomo alias Bung Tomo (ketua Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) dan Gubernur Soerjo. Namun, di antara isi pidato sejumlah tokoh kala itu yang paling familier hingga kini adalah pidato Bung Tomo.
Menurut Suparto Brata, salah seorang pe­nulis buku tentang 10 November 1945, Soemarsono melalui Radio Pemberontakan me­mang tercatat ikut mengumandangkan kebulatan tekad melawan penjajah. ”Nah, pidato Seomarsono disusul oleh pidato Bung Tomo yang berapi-api,” ungkap­nya.
Diceritakan, Radio Pemberontakan di markas Jalan Mawar itu juga tidak hanya berfungsi sebagai tempat siaran. Lokasi itu juga menjadi tempat pertemuan penting. Misalnya, pada 28 Oktober 1945. Kala itu, sejumlah pimpinan BKR, Badan Perjuangan Bersenjata (BPB), dan elemen lain bertemu. Di antaranya, ada HR. Mohammad, Bung Tomo, dan Soemarsono. ”Hasil rapat, disepakati tidak menoleransi teror Inggris yang datang ke Surabaya,” ujar Suparto. (dim/c2/hud)


Promosikan Eks Markas Pemuda


SEBAGIAN besar warga metropolis mungkin sudah sangat akrab dengan gedung Balai Pemuda. Namun, pasti tidak semua warga paham cerita sejarah di balik keartistikan bangunan di Jalan Gubernur Suryo itu. Seusai proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang, gedung itu pernah menjadi markas PRI (Pemuda Republik Indonesia).
Sebelum dikuasai pemuda, gedung tersebut terkenal sebagai tempat sangat eksklusif bagi orang Belanda. Ini bisa dilihat dari tulisan di prasasti marmer di halaman gedung. Bunyinya: Anjing dan orang-orang pribumi dilarang masuk. Namun, pada September-November 1945 tempat itu dijadikan markas besar PRI.
Ketua UPTD Balai Pemuda Yudha Nirwana mengatakan, Balai Pemuda harus terus dihidupkan. Saat ini kondisinya seakan-akan hilang dari daftar tujuan pemuda Surabaya untuk bergaul. Begitu juga ingatan tentang sejarah panjang gedung yang dahulu dikenal dengan nama Simpang Club itu. ”Ya, sekarang boleh dikatakan mati suri,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, pembongkaran bioskop Mitra 21 menjadi gedung sentra kesenian sejak 2009 menambah buruk perjalanan Balai Pemuda. Dikatakan, debu-debu konstruksi dan seng-seng yang membatasi gedung dengan proyek membuat orang segan membuat acara di Balai Pemuda Akibatnya, kepopuleran Balai Pemuda semakin melorot. ”Warga dari Jalan Pemuda tidak lagi bisa langsung ke sini karena pintu hanya dari Jalan Gubernur Suryo,” tandasnya.
Yudha mengatakan, pihak UPTD akan te­rus berupaya mempromosikan Balai Pe­muda sebagai tempat kumpul warga. Sa­lah satunya menjadikannya pusat per­gelaran kesenian. Saat ini proyek yang digarap serius adalah mengorbitkan ludruk. Proyek tersebut dimulai sejak awal 2010.
Yang membanggakan, lanjut Yudha, tahun ini sudah banyak warga asing yang menggelar acara di Balai Pemuda. Tercatat, warga Jerman dua kali membuat acara, warga Jepang tiga kali, disusul Amerika, Belanda, dan Australia masing-masing sekali mengadakan pertunjukan.
Masih di kawasan Balai Pemuda, gedung me­rah putih yang berada di sebelah barat juga me­nyimpan berbagai barang bersejarah. Misalnya, piano keluaran 1907 tapi masih berfungsi dengan baik, koleksi piring, gelas, mangkok, kaca hias be­sar setinggi 1 meter hingga lampu gantung ju­ga masih utuh. (dim/c2/hud)


Mimpi Abadi Cak Doel Arnowo (15)


Pertempuran 10 November 1945 melahirkan nama Doel Arnowo. Kelak, dia juga tercatat sebagai wali kota Surabaya pertama. Bahkan, dengan ide boneknya, kota ini memiliki ikon berupa Tugu Pahlawan.

TIGA patung berada di sisi barat Tugu Pahlawan. Dalam tulisan di bawahnya terdapat nama Gubernur Soerjo, Doel Arnowo, dan Bung Tomo. Jika Soerjo dan Sutomo menggunakan kostum pejuang, patung Doel Arnowo tidak demikian. Dia digambarkan mirip sosok birokrat dengan mengenakan setelan jas dan mengapit tas di tangan.
Selain nama Doel Arnowo, di bawah patung itu hanya dituliskan ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) yang pada 1950 menjadi wali kota Surabaya. Tidak banyak keterangan lain tentang Doel Arnowo. Misalnya, tanggal lahir dan wafatnya. Padahal, sejarah mencatat, dalam peristiwa 10 November 1945, nama Doel Arnowo yang akrab dipanggil Cak Doel itu termasuk tokoh yang berada di garda depan bersama tokoh lain.
Cak Doel juga sering ikut dalam perundingan-perundingan penting dengan tentara Inggris dan sekutunya. Bahkan, konon Cak Doel sebetulnya menjadi salah seorang tokoh kunci di balik kematian Brigjen Mallaby pada 30 Oktober 1945. Sayang, hingga meninggal pada 1985, Cak Doel tetap tidak bersedia membuka mulut siapa pemuda yang mengebom mobil Mallaby hingga sang jenderal itu meninggal.
Riyanto, kepala pemeliharaan dan perawatan Tugu Pahlawan, juga menyatakan kurangnya informasi mengenai Doel Arnowo yang lahir pada 1904 itu. Perpustakaan belum bisa memberikan gambaran lebih jauh soal sosok yang pernah menjadi wali kota pada 1950-1952 tersebut. ”Kami memang minim info. Masih ba­nyak yang harus dibenahi ,” ujarnya.
Suparto Brata, penulis buku tentang 10 November 1945, menyebutkan sosok Doel Arnowo sebagai tokoh kurus dan bertubuh kecil. Namun, yang bersangkutan terbilang tokoh kawakan. Dia aktif dalam pengambilan keputusan saat peristiwa 10 November. Sepengetahuannya, Cak Doel juga yang sejak 2 September 1945 memprakarsai Pemkot Surabaya menjadi bagian dari Republik Indonesia. ”Berdirinya Surabaya tidak bisa lepas dari perannya,” katanya.
Cak Doel juga ikut membidani kelahiran dua organisasi pemerintahan Indonesia di Surabaya. Yakni, Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Melihat semua perannya itu, Soeparto menyayangkan belum adanya nama jalan Doel Arnowo di Kota Pahlawan.
Doel Arnowo juga tercatat sebagai salah seorang tokoh yang ngotot meng­ganti nama-nama jalan berbau Belanda. Bahkan, dia bondo nekat ketika bermimpi ingin membangun sebuah tetenger (landmark) abadi dan menjadi ikon kota. Yaitu, Tugu Pahlawan.
Cak Doel lantas memilih lokasi bekas gedung Kenpeitai Jepang atau pada zaman Belanda sebagai gedung Raad van Justitie (gedung pengadilan). Lokasi tersebut menjadi saksi bisu penderitaan rakyat yang tidak mudah dilupakan pejuang atau warga Surabaya. Kini, mimpi Cak Doel itu telah terwujud. Tugu Pahlawan telah berdiri di Kota Pahlawan. (dim/c6/hud)


Tetap Mirip Potlot dalam Kurungan


TUGU itu sudah berdiri tegak di Kota Pahlawan selama 58 tahun. Selama rentang itu, beberapa kali dilakukan perubahan wajah infrastruktur pendukung. Pembenahan tugu setinggi 45 yard tersebut terakhir dilakukan pemkot pada 1990-1991 dengan arsitek Ir Sugeng Gunadi dari ITS. Wujudnya adalah yang tampak sekarang ini.
Namun, hingga kini, bentuk bangunan yang melingkari Tugu Pahlawan itu masih menuai kritik. Kesakralan bangunan pengenang pertempuran 10 November 1945 itu disebut-sebut berkurang. Kenapa? Menurut Prof Johan Silas, pakar tata kota, tribun dan pagar tinggi yang mengitari tugu itulah salah satu penyebabnya. Menurut dia, dinding atau tembok itu seolah menjadi jurang pemisah antara rakyat dan sejarah bangsa.
Menurut Johan Silas, salah satu buktinya adalah jumlah pengunjung yang minim ke Tugu Pahlawan maupun ke museumnya. Hingga kini, rata-rata pengunjung adalah para pelajar yang memang dituntut memiliki pengetahuan tentang sejarah bangsa. Bagaimana warga umum? Mereka lebih mengenal patung Suro dan Boyo daripada Tugu Pahlawan. ”Karena patung Suro dan Boyo lebih mudah diakses,” ujarnya kemarin (9/11).
Kritik itu sebetulnya juga pernah datang dari banyak pihak. Di antaranya muncul dari almarhum Kadaruslan (ketua Pusura). Bahkan, Cak Kadar -demikian biasa dia dipanggil- kala itu memberikan perumpaan unik. Tugu Pahlawan itu, kata dia, seperti potlot dikurungi (pensil dalam kurungan).
Johan berharap, pihak terkait seperti pemkot dan pemprov mau mengkaji ulang tembok tersebut. Di banyak tempat monumen memorial park tanpa tembok. Dia lantas mencontohkan Monumen Nasional (Monas) atau kompleks Lincoln Memorial Park di Amerika. Semua dibiarkan tanpa batas untuk memancing emosi yang melihat. ”Kalau ditutupi, konflik batin mengingat perjuangan tidak muncul,” tandasnya. (dim/c1/hud)


Film Soerabaia 45 Masih Faktual untuk Pembelajaran


Nyowo situk ilang-ilangan
Itulah salah satu bait kidungan dalam film Soerabaia 45. Kalau diterjemahkan bebas, itu berarti tali ijuk untuk tali layang-layang, nyawa cuma satu tidak apa-apa jika harus melayang.
Sebagian warga metropolis mungkin masih ingat dengan film Soerabaia 45 pada era 1990-an. Film yang disutradarai Imam Tantowi dan musiknya digarap Idris Sardi itu menghiasi bioskop papan atas. Misalnya, Mitra 21 (dekat gedung Balai Pemuda) yang kini sudah gulung tikar. Sejumlah aktor bermain dalam film tersebut. Di antaranya, Leo Kristi yang berperan sebagai Bung Tomo.
Tidak hanya gedung bioskop. Kala itu, film layar lebar yang bertujuan menggambarkan heroisme rakyat melawan tentara Inggris dan sekutu itu juga menjadi menu wajib di banyak sekolah. Tidak melulu perang-perangan. Dalam film yang berdurasi 123 menit tersebut, banyak adegan humor khas Surabaya dan bumbu-bumbu melankolis.
Yang menarik, ternyata film Soerabaia 45 bukan digarap atas prakarsa pemkot, melainkan pemprov yang bekerja sama dengan PT Sinar Permata Mas. Kabarnya, total anggaran pembuatan film itu (hanya) Rp 1,8 miliar. Padahal, film tersebut melibatkan banyak orang dan peralatan.
Kini nasib film Soerabaia 45 seolah mati suri. Menjelang peringatan 65 tahun Hari Pahlawan, sangat jarang orang mengingat film itu. Misalnya, mengadakan acara nonton bareng film tersebut. “Saya kira, film itu masih aktual atau relevan diputar saat ini. Bukan karena saya termasuk salah seorang pemainnya, tapi nilai yang disampaikan dalam film,” kata Dr Soetanto Soepiadhy, dosen Universitas 17 Agustus 1945, yang dalam film tersebut berperan sebagai drg Moestopo

0 komentar: