Dilema Semantik dan Puisi

18.04 0 Comments


Pagi rainbow cake....

Catatan Akasah


Kubuka mata bersama sound mini darimu
Kubaca mantra sebelum kurangkai kata untukmu
Kucoba cari kebenaran dengan dekontruksi ‘Tempo’mu
Mengingat segala puisi bahasa Indonesia
Mengingat segala cerita literatur dari Nitsche dan Hitler, Deustch Uber Alles
Mengingat lagi rabu sunyi bersamamu, dia dan dindaku
Dikala itu, gerimis satukan tubuhku dan mu
Sementara, dia dan dindaku bersenggama dengan karya ‘Zubaidah Djohar’ dan ‘Mardi Luhung’
Mereka berseteru
Aku pun tetap nikmati keindahan tubuhmu
Kucoba nostalgia dipelukmu
Tahukan?, ku pernah rasakan kesulitan terjemahkan puisi bahasa Indonesia dalam bahasa Jerman
Begitupula yang dialami oleh mahasiswa Berthold Damshauser
Kepala Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Bonn, Jerman
Ada mahasiswa asal negeri adidaya Eropa itu yang kesulitan dalam menerjemahkan puisi bahasa Indonesia
Alasannya, bukan terkait interpretasi
Karena memang puisi akan menimbulkan banyak tafsiran
Tapi terkait dengan maksud kalimat
Katakanlah kepada narasinya, seperti penutur asli pun kesulitan mengetahui hubungan sintaksis-semantik di antara kata-kata yang muncul
Terutama, jika ada enjambment atau disaat penyair tidak pakai titik dan koma
Ingatkah dengan butir sila legendaris Pancasila
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
Untuk memahami kalimat itu, ku memerlukan hermeneutika yang luar biasa
Begitupula dengan puisi bahasa Indonesia.
Memahami itu, ku mencoba menafsirkan apa yang diucapkan dia
‘Puisinya Mardi Luhung itu penuh simbol, mungkin saja penulisnya kerap lupa apa yang dimaksud dalam kalimat tertentu’ ungkap dia
Ah, bukankah itu skandal bahasa?......
Tapi hal itu wajar, karena setiap orang tak sanggup ingat dengan segala sesuatu yang ditulisnya
Begitupula denganku
Yang tak tahu berapa kali ku harus meminta maaf kepada coretan kata atau kalimat
Karena kesalahan bahasaku yang bertubi-tubi.
Andai betul teks puisi Indonesia kerap susah dipahami, bahkan oleh penciptanya sendiri, mengapa hal itu tak pernah dipermasalahkan oleh kalangan sastra, khusunya kritikus sastra?
Muncullah kontruksi, apakah itu karena pembaca puisi Indonesia tak ada yang melakukan close reading
Yang dia kaji hanya unsur seni dan indahnya saja
Hanya unsur ala Ferdinand de Saussure saja
Hanya unsur ala Freud
Hanya unsur Soren Kierkegaard
Hingga mereka tak menyadari jalan tidaknya logika dalam teks yang dibaca?
Ah kurang ajar benar pikirku dan mereka,..coba ku akan pahami puisi dengan jiwa
Kupeluk puisi dengan suara, irama dan liriknya.
Sehingga, muncul statment bahwa puisi Indonesia hanya untuk dideklamasikan dan diteriakan dengan suara lantang.
Bukan lagi untuk dipahami dengan sungguh-sungguh.
Tapi itulah budaya—budaya berpuisi nan sastra dan bahasa.
Itulah nilai keindahannya,..
Semantik itu indah dengan keterikatannya.
Puisi itu indah dengan eksistensinya.

0 komentar: